Ta'dil Kolektif



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
      Mayoritas ulama menganggap semua sahabat adalah adil (‘udul) yakni menyatakan bahwa semua sahabat terbebas dari penyebaran hadis palsu secara sengaja. Karena mereka menerima begitu saja kesaksian sahabat mengenal hal-hal yang menyangkut hadis Nabi. Dengan kata lain karekter seorang sahabat terbebas dari obyek penelitian. Untuk mendukung “doktrin” ini sejumlah ayat-ayat dikutip, seperti “kuntum khairo ummatin ukhrijat li an-nas”.( kalian sebaik-baik umat yang diutus untuk umat manusia. Kata disapa (mukhattab) adalah kata “kalian” dapat di pahami merujuk kepada Sahabat. Juga ayat : “wa kadzalika ja’alnakum ummatan wa sathan.[1] Dan didalam hadis juga seperti di riwayatkan oleh Kuraib, Ibn ‘Umar, dan di riwayatkan oleh Abu Hurairah.
        Agar suatu hadis dapat di terima maka kita harus tahu bahwa rawinya menyampaikan hadis tersebut persis seperti ketika ia menerimanya. Hal ini tidak dapat terjadi kecuali rawi tersebut memenuhi syarat-syaratnya, karena pembahasan tentang hal-hal yang berkaitan dengan rawi itu harus di dahulukan. Setelah itu penyambilan hadis oleh seorang rawi dari guru-gurunya itu memiliki beberapa masalah dan hukum, demikian pula penyampaiannya.
B.     Rumusan Masalah
1.       Apa pengertian ta’dil dan sahabat?
2.       Apa saja sifat-sifat rawi yang diterima dan yang di tolak riwayatnya?
3.       Bagaimana pendapat para mazhab-mazhab terhadap keadilan sahabat?
4.       Bagaimana contoh hadis dari para sahabat dan kesahihan hadisnya?
C.    Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian ta’dil dan sahabat
2.      Untuk mengetahui sifat-sifat rawi yang diterima dan yang di tolak riwayatnya
3.      Untuk mengetahui pendapat para mazhab-mazhab terhadap keadilan sahabat
4.      Untuk mengetahui contoh hadis dari para sahabat dan kesahihan hadisnya
BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Ta’dil dan Sahabat
1.      Ta’dil
            Lafal adil seakar dengan lafal ‘adalah yang telah di muta’adilkan atau di transitifkan akan menjadi perkataan ta’dil. Sebelum perkataan ta’dil diterangkan secara harfiah, ada baiknya jika di terangkan terlebih dahulu pengertian adil itu secara umum.
Adl menurut kitab Manhaj Dzawin Nazhar adalah :
من له ملكة علي ملازم التقوى وهى اجتناب الأعمال السيئة من شرك او فسق او بدعة او ملكة يقتدر بها على اجتناب غير صغيرة الحسنة والردذائل وملازمة المروئة.
Orang yang memiliki ketetapan dalam takwa, yaitu dengan menjauhi semua perbuatan yang buruk, baik berupa kemusyrikan, kefasikan maupun bid’ah. Juga dikatakn ‘adl jika mereka mampu menjauhi dosa-dosa kecil dan hina, namun ia bertetap dalam hal-hal yang berkaitan dengan muru’ah.
    Berdasarkan definisnya ‘adl atau ‘adalah ialah suatu watak atau kebiasaan untuk menjauhi segala noda dan dosa serta selalu melaksanakan perintah agama secara terus–menerus. Di samping itu, orang adil selalu menjauhi segala dosa kecil dan besar, serta dirinya selalu dihiasi dengan sifat muru’ah, yaitu terpelihara kehormatan pribadinya, sementara yang di namakan ta’dil :
 ماقام في النفوس انه مستقيم وهو ضد الجور ... او رجل مقبول الشهادة ... تعديل الرجل تزكيته.
“Sesuatu yang terhunjam dalam diri sebagai hal yang lurus yang menjadi lawan dari keburukan ... atau seseorang yang diterima persaksiannya atau mengadilkan seseorang yang berarti men-tazkiyah-nya yaitu membersihkannya dari perbuatan-perbuatan keji.”
         Jadi, ta’dil menurut bahasa berarti kelurusan dan kejujuran yang ada pada diri seseorang. Seseorang yang jujur tidak akan menyeleweng dan dapat diterima segala penyaksiannya. Menilai adil terhadap seseorang berarti menilai orang itu bersih dari penyelewengan, aib, ketidak jujuran dan celaan.
          Adapun menurut istilah arti ta’dil adalah tersifatinya seseorang perawi yang mengarah pada di terimanya periwayatannya. Orang yang dinilai adil adalah orang yang tidak cacat urusan agama dan muruahnya, sehingga kabar dan persaksiannya dapat diterima sepanjang syarat-syaratnya terpenuhi.  Menurut keterangan tersebut yang dinamakan adil adalah orang yang tidak ada ketercelaan pada dirinya, sehingga tidak di tolak riwayatnya atau pemberitaannya. Jadi, orang yang di ta’dil atau dinilai adalah orang yang dirinya selamat dari segala celaan yang tidak layak dimiliki oleh seorang rawi agar riwayatnya tidak di tolak. Seorang yang dinilai adil dalam periwayatan hadis, harus seorang muslim, mukallaf, dhabith, tsiqah dan selamat dari kefasikan.[2]
2.      Sahabat
           Pengertian sahabat menurut terminologi ialah orang yang pertama bertemu dengan Nabi SAW, beriman kepadanya dan meninggal dalam keadaan beriman pula.[3] Sahabat adalah pengganti Rasulullah Saw dalam menyebarkan dakwah dengan segala resikonya. Oleh karena itu, tidak ada perbedaan pendapat di kalangan para ulama bahwa menekuni pengkajian tentag sahabat Nabi Saw.
          Pada dasarnya, shuhbah (persahabatan) menurut bahasa diucapkan  bagi persahabatan semata, tanpa diisyaratkan berlangsung lama.
  Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata:
الصحابي من لقي النبي صلي الله عليه وسلم مومنا به ومات على الإسلام.
 "Sahabat adalah orang yang berjumpa dengan Nabi Saw dalam keadaan beriman kepadanya dan mati dalam keadaan beragama Islam.
         Kata-kata man laqiya menunjukan bahwa yang termasuk sahabat adalah orang yang lama maupun yang sebentar kehidupannnya dengan Nabi Saw, baik pernah ikut berperang dengannya maupun belum pernah ikut berperang. Kata-kata  mu’minan bihi mengecualikan orang yang bertemu dengannya dalam keadaan kafir lalu masuk Islam da tidak perlu lagi berjumpa dengan Nabi setelah keislamannya.[4]
B.     Sifat-sifat Rawi yang Diterima dan Yang Di Tolak Riwayatnya
            Cabang ilmu hadits yang memiliki urgansi yang tinggi karena membahas tentang syarat-syarat rawi yang dapat di terima dan di pakai riwayatnya.  Pernyataan para ulama berbeda-beda dalam membilang kriteria dapat di terimanya suatu riwayat, sebagian menetapkan sedikit kriteria sedangkan yang lain memperbaikinya. Berikut Abu Amr bin ash-Shalah menghimpun kriteria-kriteria tersebut.
“Jumhur imam hadits dan fiqh sepakat bahwa syarat bagi orang yang dapat di pakai hujjah riwayatnya hendaknya adil dan dhabith atas hadits yang diriwayatkan. Perinciannya adalah rawi tersebut seorang muslim, baligh, berakal sehat, terbebas dari kefasikan dan hal-hal yang merusak muru’ah, benar-benar sadar dan tidak lalai, kuat hafalan bila hadits diriwayatkannya adalah tertulis.
Semua sifat yang telah di sepakati oleh ulama itu berpangkal pada dua hal, yaitu keadilan dan ke-dhabit-an. Berikut ini penjelasan satu per satu dari kedua hal tersebut :
1.      Keadilan ( al-‘Adalah )
        ‘Adalah adalah suatu watak dan sifat yang sangat kuat yang mampu mengarahkan orangnya kepada perbuatan takwa, menjauhi mungkar dan segala sesuatu yang akan merusak muruah, harga dirinya.
Fakto-faktor ‘adalah sebagai berikut :
a.       Beragama Islam. Berdasarkan firman Allah :
مِمَّنْ تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاءِ.......
...... dari saksi-saksi yang engkau ridhai. (QS. al-Baqarah :282).
Sementara orang yang tidak beragama Islam pasti tidak mendapatkan keridhaan seperti itu.
b.      Baligh. Hal ini karena merupakan suatu paradigma akan kesanggupan memikul tanggung jawab, mengemban tanggung jawab, mengemban kewajiban, meninggalkan hal-hal yang dilarang.
c.       Berakal sehat. Sifat ini harus dimiliki oleh seorang periwayat agar dapt berlaku jujur dan berbicara tepat.
d.      Takwa. Yaitu menjauhi dosa-dosa besar yang tidak membiasakan perbuatan-perbuatan dosa kecil.
e.       Berperilaku sejalan dengan muru’ah (harga diri yang agamis) serta meninggalkan segala sesuatu yang biasa menjatuhkan harga diri manusia menurut tradisi masyarakat yang benar, seperti kencing di jalan, mencaci-maki atau menghina orang lain. Orang yang seperti ini sebenarnya adalah orang yang amoral, sehingga sukar bagi kita untuk menerima riwayat hadisnya secara aman.
   Dalil disyaratkan takwa adalah firman SWT :
 يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا......
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita maka periksalah dengan teliti .  (QS. Al-Hujurat [49]: 6).
         Apabila semua kriteria ini terpenuhi pada diri seseorang periwayat maka ia adalah orang yang adil dan jujur, karena ia akan senantiasa terpanggil untuk berperilaku jujur dan menghindari dusta,lantaran padanya telah tertanam norma-norma agama, sosial, susila, dengan pengetahuan yang sempurna tentang hak dan kewajibannya.
2.      Kuat Hafalan (Dhabith)
           Yang di maksud Dhabit oleh muhadditsin adalah sikap penuh kesadaran dan tidak lalai, kuat hafalan apabila hadis yang di riwayatkannya berdasarkan tulisan; sementara apabila ia meriwayatkan hadis secara makna maka ia akan tahu persis kata-kata apa yang sesuai untuk di gunakan.
           Seorang periwayat dikenal sebagai dhabith dengan barometer yang telah di tentukan oleh para ulama. Hal ini telah mereka lakukan untuk mengukur ke-dhabith-an para periwayat sebelumnya. Ibnu Shalah berkata: “kita bandingkan riwayat seorang rawi dengan para perawi tsiqat lain yang telah dikenal dhabit dan ketekunannya. Jika didapati sesuai walau hanya dari segi makna, atau lebih banyak dari segi makna, atau lebih banyak yang sesuai ketimbang lainnya maka ia bisa di sebut sebagai dhabith. Namun apabila di dapati banyak yang menyalahi, maka kedhabitannya cacat sehingga riwayatnya tidak dapat kita katakan memiliki validitas hujjah.
            Apabila pada seorang periwayat terkumpul dua sifat adil dan dhabith, maka ia adalah hujjah dan hadisnya harus di amalkan. Periwayat ini di sebut tsiqat. Hal ini di karenakan ia benar-benar bersifat jujur di tambah dengan kuat hafalannnya yang menjadikan ia mampu menyampaikan hadis dengan lancar seperti ketika di dengarnya. Para perawi yang bersifat demikian hadisnya dapat dipakai hujjah. Jika seorang rawi cacat salah satu faktor ke-tsiqat-annya, maka hadisnya dinilai cacat sesuai tingkat kecacatannya.
C.     Pendapat Para Mazhab-Mazhab Terhadap Keadilan Sahabat
          Pembicaraan mengenai keadilan sahabat tak habis-habisnya dibicarakan, karena mengandung kontroversi pemikiran beserta sudut tinjau masing-masing.
Mazhab-mazhab dalam islam terhadap keadilan sahabat berikut interpretasinya :
1.      Khawarij
          Sebagaimana di kemukakan dalam sejarah bahwa, kemunculan kelompok ini berkaitan erat dengan kekecewaan mereka (para pengikut ‘Ali) atas keputusan ‘Ali menerima arbitrase sebagai jalan untuk menyelesaikan pertikaiannya tentang khilafah dengan Mu’awiyah bin Abi Sufyan.
           Nama Khawarij itu sendiri diambil dari kata kharaja (خرج) yang berarti telah keluar. Maksudnya bahwa mereka memproklamasikan dirinya sebagai orang-orang yang keluar dari barisan ‘Ali menuju kepada Allah dan Rasul-nya.
Hal ini mereka sandarkan pada firman Allah :
.......وَمَنْ يَخْرُجْ مِنْ بَيْتِهِ مُهَاجِرًا إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ ثُمَّ يُدْرِكْهُ الْمَوْتُ فَقَدْ وَقَعَ أَجْرُهُ عَلَى اللَّهِ.....
“….. Barang siapa yang keluar dari rumahnya dengan maksud berhijrah kepada Allah dan Rasul-Nya, kemudian kematian menimpa dirinya (sebelum sampai ketempat yang dimaksud), maka sungguh telah tetap pahalanya disisi Allah…..” (QS. An-Nisa [4] : 100).
          Adapun mengenai ajaran teologi mereka sangat praktis, yaitu kalau tidak hitam pasti putih, kalau tidak mukmin pasti kafir dan seterusnya. Pemahaman seperti ini sebenarnya berangkat dari ajaran teologi mereka tentang dosa besar dimana orang mukmin yang berbuat dosa besar telah menjadi kafir. Berangkat dari pemahaman inilah mereka menilai bahwa para sahabat ( kecuali dua sahabat besar, Abu Bakar dan Umar) merupakan pelaku dosa besar yang pada gilirannya menjadi kafir. ‘Usman bin Affan semenjak tahun ketujuh dari kekhilafahannya, ‘Ali semenjak terjadinya arbitrase, kemudian ‘Mu’awiyah, Amr bin al-‘As, Abu Musa al-Asy’ari dan seluruh sahabat yang menurut mereka telah melanggar ajaran Islam telah menjadi kafir.
   Karena menurut Khawarij para sahabat pelaku dosa besar itu kafir. Jadi para Khawarij menolak pandangan mengenai seluruh sahabat itu adil.[5]
2.      Murji’ah
          Berbeda dengan kelompok sebelumnya, Khawarij di satu sisi dan Syi’ah pada sisi lain yang terlibat saling mengafirkan, maka kelompok Murji’ah diam untuk tidak mengafirkan siapapun dari kalangan para sahabat. Mereka memilih menangguhkan persoalan dosa-dosa besar beserta pelakunya tersebut di akhirat nanti. Dalam pandangan Murji’ah iman tidak perlu dikaitkan dalam perbuata dosa yang dilakukan oleh seseorang Muslim.
          Dapat disimpulkan bahwa, kalau Khawarij memandang para pelaku dosa besar itu kafir, maka Murji’ah memandangnya sebagai seorang mukmin. Dalam pandangannya para sahabat merupakan orang-orang yan bisa di percaya dan tak perlu di pertimbangkan tenteng apa yang di perbuatnya.
3.      Mu’tazilah
         Ada beberapa pendapat mengenai latar belakang kemunculan kelompok ini, namun yang masyur selalu disandarkan pada kasus I’tizal-nya Washil bin ‘Atha dari pengajian Hasan al-Bashri (w.110 H).
   Adapun kasusnya berawal ketika Washil bin ‘Atha bertanya kepada gurunya, Hasan Al-Bashri:
          “Wahai pemuka agama di zaman kita telah muncul sekolmpok orang yang mengafirkan para pelaku dosa besar. Para pelaku dosa besar, menurut mereka kufur dan keluar dari agama. Kelompok tersebut adalah kaum Khawarij. Sementara itu ada kelompok yang menangguhkan (‘irja’) para pelaku dosa besar. Dosa besar menurut mereka bukan termasuk rukun iman. Begitu juga kemaksiatan (yang dilakukan) tidak berpengaruh pada keimanan, kekufuran bukan berarti tidak taat, mereka adalah kaum Murji’ah. Jadi bagaimana sikap Anda dalam memutuskan perkara itu, supaya dapat kami jadikan sandaran?”
          Hasan Al-Bashri, sebelum menjawab, berpikir sejenak. Tapi muridnya, Washil bin ‘Atha (mendahului sang guru) berkata: “saya tidak akan mengatakan bahwa pelaku dosa besar adalah mu’min sejati, tidak pula kafir tulen. Tapi kedudukannya antara dua manzilah yakni tidak mu’min tidak kafir. Kemudian Washil bin’Atha pergi mengisolir diri ke salah satu tiang masjid, menegaskan lagi jawabannya itu kepada jamaah sahabat Hasan Al-Bashri dari kami. Kemudian Hasan berkata : Washil telah mngisolir diri dari kami (I’tazala ‘anna). Lalu ia beserta sahabatnya dijuluki sebagai Mu’tazilah.
        Jelaslah bahwa konsep teologi Mu’tazilah lebih condong untuk melihat pelaku dosa besar itu tidak mu’min dan tidak kafir melainkan berada di antara kedua tempat. Disebabkan mereka tidak mau mengakui bahwa kebaikan dan keburukan itu tergabung menjadi satu dalam diri seseorang.
         Sebagaimana kelompok yang lainnya, pemahaman mereka tentang keadilan sahabat sangat diwarnai oleh ajaran teologinya. Oleh karenanya, mereka tidak sepakat pada konsep keadilan sahabat. Malah dalam pandang mereka itu A’isyah r.a, Thalhah dan Al-Zubair disatu sisi yang terlibat Perang Jamal dengan’Ali r.a, dan ‘Ali r.a yang terlibat Perang Shiffin dengan Mu’awiyah dikelompokkan sebagai orang yang fasik.
     Dari pandangannya terhadap sahabat itu, maka kaum Mu’tazilah memang tidak mengakui keberadaan sunnah, karena mereka meragukan keorisilannya dari Nabi Muhammad Saw.[6]
4.      Syi’ah
           Sebagaimana di ketahui bahwa, kemunculan Syi’ah berkaitan erat dengan peristiwa Perang Shiffin yang terjadi ‘Ali r.a pada satu sisi dan Mu’awiyah pada sisi lainnya. Syi’ah pada mulanya merupakan kelompok yang setia kepada ‘Ali r.a, tetapi kemudian berkembang menjadi aliran teologi dalam Islam yang mandiri dalam konsep-konsep tersendiri dalam peraturan syariah.
          Adapun pandangan mereka terhadap sahabat tak berbeda dengan kelompok-kelompok (firqah) Islam lainnya. Mereka keberatan dengan konsep seluruh sahabat itu adil. Bagi mereka, para sahabat yang berada diseberang kelompoknya, yaitu mereka yang setuju terhadap kekhilafahan itu berada di tangan Abu Bakar, ‘Umar, dan ‘Utsman adalah pelaku dosa-dosa besar karena telah merampas ke-khilafat-an dari tangan ‘Ali r.a.
         Mu’awiyah Ibnu Sufyan adalah sahabat yang telah banyak berbuat (keonaran dan kerusakan) terhadap Islam dan kaum Muslim, sebagaimana di ketahui dalam kitab-kitab sejarah bahwa ia memerangi Imam ‘Ali r.a dalam Perang Shiffin. Sementara pasukan di pihak ‘Ali adalah mantan pejuang Badar, kuarang lebih seratus orang jumlahnya. Lalu patutkah yang memerangi sahabat-sahabat, ‘Ali r.a di kategorikan sebagai Ahlu Fadhl wa al-Shalah wal-‘adalah.
          Dari uraian ini tampaknya bahwa pandangan mereka tentang keadilan sahabat tidak menyeluruh. Mereka hanya memandang adil kepada sebagian sahabat saja, malah lebih jauh dari itu menurut mereka, diantara para sahabat ada yang mu’min dan ada pula yang kafir sehingga tak ada keistimewaan di antara mereka.
             Adapun keadilan sahabat, menurutnya hanya layak disandang oleh ‘Ali dan para sahabat lainnya yang sealur dengannya. Mereka sangat keberatan dengan konsep keadilan sahabat secara menyeluruh. Hal ini karena mereka senantiasa terhantui oleh fenomena pertumpahan darah yang selalu mewarnai antar-sahabat itu sendiri.
            Perbedaan Syi’ah dengan Ahl al-Sunnah tampak berangkat dari penilaian dari para sahabat ini. Ahl al-Sunnah lebih melihat kepada jasa-jasa mereka dalam ikut serta membangun Islam bersama Nabi Saw., yang hal ini senantiasa direkam oleh Al-Quran dan Al-Hadits dalam bentuk pujian kepada mereka.
          Adapun terhadap kelemahan-kelemahan mereka, Ahl al-Sunnah lebih condong untuk men-tawaquf-kannya. Mereka menyerahkan persoalan itu kepada Allah Swt sebagai Hakim yang seadil-adilnya. Semua apa yang mereka lakukan dari keburukan-keburukannya diserahkan tanggung jawaban kepada diri mereka sendiri di hadapan Tuhannya yang maha Adil atas segalanya. Allah SWT berfirman :
تِلْكَ أُمَّةٌ قَدْ خَلَتْ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَلَكُمْ مَا كَسَبْتُمْ وَلَا تُسْأَلُونَ عَمَّا كَانُوا يَعْمَلُونَ
" Itu adalah umat yang telah lalu; baginya apa yang telah di usahakannya; dan kamu tidak akan diminta pertanggungjawab tentang apa yang mereka kerjakan.” (QS. Al-Baqarah [2]: 141).
          Inilah pokok pemikiran dari Ahl al-Sunnah dalam menyikapi fenomena sejarah tersebut. Dengan demikan mereka memandang fenomena sejarah tersebut secara khusus dalam bingkai akhlak dan menyebutnya sebagai manhaj akhlaqi.
          Namun berbeda dengan halnya Syi’ah, mereka melihat fenomena sejarah tersebut sebagai bentuk penyimpangan dari apa yang telah di tetapkan secara umum oleh syara’.[7]
5.      Ahl al-Sunnah wa al-Jama’ah
          Mazhab Ahl al-Sunnah lebih condong untuk men-tawaquf-kan persoalan-persoalan para sahabat lakukan. Mereka tidak mengomentarinya,bahkan mereka lebih melihat kepada jasa-jasanya yang sangat besar dalam ikut andil bersama Rasul Saw dalam menyebarkan agama yang mulia ini. Sifat dan akhlaq seperti ini yang mereka junjung daripada memperbincangkan kelemahan mereka yang tidak ada ujungnya dan akan terulang kembali kepada mereka yang pada awalnya banyak mengkritik persoalan ini.
            Kaum Ahl al-Sunnah masih memandang gegabah terhadap orang yang masih mempersoalkan sahabat bersama konsep keadialannya. Apa yang mereka sampaikan ini memang disandarkan pada hal-hal yang normatif, diantaranya sebagai berikut :
a.       Ayat-ayat Al-Quran :
وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ.
Orang –orang yang terdahulu lagi pertama-tama (masuk islam) di antara orang-orang Muhajirin dan Anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha atas mereka dan mereka ridha kepada Allah.  Allah menyediakan bagi mereka sungai-sungai yang mengalir sungai-sungai di bawahnya. Mereka kekal di dalamnya selama-lamanya, itulah kemenangan yang besar.”  (QS. Al-Taubah [9] : 100).
مُحَمَّدٌ رَسُولُ اللَّهِ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ تَرَاهُمْ رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا.....
      Muhammad itu utusan Allah dan orang-orang yang bersama dia adalah keras terhadap orang-orang kafir,tetapi berkasih sayang sesame mereka. Kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya…..” (QS Al-Fath [48]: 29).
كُنْتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ تَأْمُرُونَ بِالْمَعْرُوفِ وَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ وَتُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ......
      “kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah….(QS. Ali Imran [3]: 110.

وَكَذَلِكَ جَعَلْنَاكُمْ أُمَّةً وَسَطًا لِتَكُونُوا شُهَدَاءَ عَلَى النَّاسِ وَيَكُونَ الرَّسُولُ عَلَيْكُمْ شَهِيدًا.....
      Dan demikian pula Kami telah menjadikan kamu {umat Islam }umat yang adil dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas perbuatan manusia dan agar Rasul {Muhammad} menjadi saksi atas perbuatanmu….”(QS. Al-Baqarah [2] :143).
b.      Hadis-hadis Nabi Saw diantaranya :
لَا تَسُبُّوا أَصْحَابِي فَلَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ أَنْفَقَ مِثْلَ أُحُدٍ ذَهَبًا لَمْ يَبْلُغْ مُدَّ أَحَدِهِمْ وَلَا نَصِيفَهُ  (البخارى)
       Janganlah mencela salah seorang sahabatku,demi miriku yang berada di tangan-Nya seandainya kamu infakkan emas sebesar Gunung Uhud pun, niscaya takan ada seorang pun yang mampu (menyamainnya) walaupun sampai satu mud pun atau setengahnya.” (HR Bukhari)

 قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: خَيْرُكُمْ قَرْنِي، ثُمَّ الَّذِين يَلُونَهُمْ، ثُمَّ الَّذِين يَلُونَهُمْ (البخارى)
    “Berkata ‘Imam bin Hushayn r.a, Rasulullah bersabda: “Sebaik-baiknya kamu adalah (mereka yang hidup) pada masaku, kemudian masa berikutnya, kemudian masa berikutnya.” (HR Bukhari).
c.       Ijma’
           Dalam masalah ijma’ yang berkenaan dengan keadilan sahabat ini, Nur al-din ‘Itir mengutip pendapat Abu ‘Umar bin ‘Abd Al-Bar dalam kitabnya al-Isti’ab, katanya : “Kita cukupkan (sampai di sini) dalam membahas mereka (para sahabat) karena ahli haq dari kalangan kaum Muslimin telah sepakat bahwa mereka itu Ahlu Al-Sunnah wa al-Jama’ah yang seluruhnya adil.” Ibnu al-Shalah berkata : “Sesungguhnya umat itu telah ijma’ dalam menjadikan seluruh sahabat itu adil ….
            Dari uraian tersebut jelaslah bahwa menurut Ahl al-Sunnah secara normatif memang tidak ada alasan untuk menolak konsep bahwa semua sahabat itu adil secara keseluruhan.
          Adapun hal lain yang harus di perhatikan selain dengan tiga alasan tadi (yakni Al-Quran dan al-sunnah serta ijma’) bahwa Ahl al-Sunnah memandang para sahabat merupakan komunitas manusia terbaik dalam urusan din, baik dalm pemahaman maupun dalam pengejawantahnnya. Hal ini disebabkan karena mereka telah menyaksikan secara langsung akan berlangsungnya nubuwwah. Mereka pula yang secara utuh melakukan tegur sapa dengan Rasulullah Saw. Mereka pula yang merupakan generasi yang mendapat tuntunan langsung dan pelajaran dari Rasulullah. Singkatnya, hanya merekalah generasi yang berhasil untuk bersentuhan langsung dengan sumber risalah beserta pengejawatahannya.
            Dari uraian di atas, wajarlah seandainnya Ahl al-Sunnah memandang para sahabat menduduki peringkat tinggi dalam keadilannya. Dengan kata lain :
الصحابة جميعهم عدول.
             Sementara itu, Syi’ah berpendapat bahwa seluruh sahabat itu murtad, kecuali lima orang. Namun demikian, jumhur muhadisin sepakat menyatakan bahwa, para sahabat memiliki keadilan yang relatif tinggi di bandingkan dengan generasi berikutnya.[8]
D.    Contoh Hadis Dari Para Sahabat dan Kesahihan Hadisnya
حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ يَحْيَى، وَيَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ، وَقُتَيْبَةُ، وَابْنُ حُجْرٍ، - قَالَ يَحْيَى بْنُ يَحْيَى: أَخْبَرَنَا، وَقَالَ الْآخَرُونَ: - حَدَّثَنَا إِسْمَاعِيلُ وَهُوَ ابْنُ جَعْفَرٍ، عَنْ مُحَمَّدٍ وَهُوَ ابْنُ أَبِي حَرْمَلَةَ، عَنْ كُرَيْبٍ، أَنَّ أُمَّ الْفَضْلِ بِنْتَ الْحَارِثِ، بَعَثَتْهُ إِلَى مُعَاوِيَةَ بِالشَّامِ، قَالَ: فَقَدِمْتُ الشَّامَ، فَقَضَيْتُ حَاجَتَهَا، وَاسْتُهِلَّ عَلَيَّ رَمَضَانُ وَأَنَا بِالشَّامِ، فَرَأَيْتُ الْهِلَالَ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ، ثُمَّ قَدِمْتُ الْمَدِينَةَ فِي آخِرِ الشَّهْرِ، فَسَأَلَنِي عَبْدُ اللهِ بْنُ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا، ثُمَّ ذَكَرَ الْهِلَالَ فَقَالَ: مَتَى رَأَيْتُمُ الْهِلَالَ؟ فَقُلْتُ: رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ الْجُمُعَةِ، فَقَالَ: أَنْتَ رَأَيْتَهُ؟ فَقُلْتُ: نَعَمْ، وَرَآهُ النَّاسُ، وَصَامُوا وَصَامَ مُعَاوِيَةُ، فَقَالَ: " لَكِنَّا رَأَيْنَاهُ لَيْلَةَ السَّبْتِ، فَلَا نَزَالُ نَصُومُ حَتَّى نُكْمِلَ ثَلَاثِينَ، أَوْ نَرَاهُ، فَقُلْتُ: أَوَ لَا تَكْتَفِي بِرُؤْيَةِ مُعَاوِيَةَ وَصِيَامِهِ؟ فَقَالَ: لَا، هَكَذَا أَمَرَنَا رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ "
“Dari Yahya Ibnu Yahya, Yahya Ibnu Ayyub,Qutaibah Ibn Hujr ( diriwayatkan bahwa ) Yahya berkata : telah menyampaikan kepada kami, dan yang lain berkata : telah mewartakan kepada kami, bahwa Ismail Ibn Ja’far telah menyampaikan suatu riwayat kepada kami dari Muhammad, yaitu Ibn Abi Harmalah dari Kuraib yang menyampaikan bahwa Ummul- Fadl binti Al-haris mengutusnya menemui Mu’awiyah di Syam. Kuraib menjelaskan: saya pun tiba di Syam dan menunaikan keperluan Ummul Fadl. Ketika saya berada di Syam, bulan Ramadhan pun masuk dan saya melihat hilal pada malam jum’at, kemudian pada akhir bulan ramadhan saya kembali ke madinah. Lalu Ibn Abbas menanyai saya dan dia menyebut hilal ia bertanya: kapan kalian melihat hilal? Saya menjawab : kami melihatnya malam jumat. Ia bertanya lagi : apakah kau sendiri melihatnya. Mereka berpuasa keesokan harinya dan juga mu’awiyah berpuasa (keesokkan harinya). Lalu Ibn Abbas berkata : akan tetapi kami melihatnya malam sabtu. Ibn Abbas berkata : akan tetapi kami melihatnya malam sabtu. Oleh karena itu kami akan terus berpuasa hingga genap tiga puluh hari atau hingga melihat hilal ( Syawal ). Lalu saya balik bertanya : apa tidak cukup rukya Mu’awiyah dan puasanya? Ia menjawab : Tidak ! Demkianlah Rasulullah Saw memerintahkan  kepada kita.[9]
            Berdasarkan penulusuran biografis, sanad hadis ini terdiri dari para perawi yang menurut ukuran kritik hadis yang berlaku tidak menunjukkan adanya cacat. Oleh karena itu para ahli hadis menerima hadis ini sebagai hadis shahih. At-Tirmidzi, salah seorang mukharij hadis ini, menegaskan bahwa : “Hadis ini adalah hadis hasan shahih.  Ibn al-Mulaqqin ( w.804 /1401 ) dalam kitabnya al-Badr al-Munir menegaskan bahwa hadis ini sahih. Al-Albani adalah ahli hadis zaman modern yang menyatakan hadis ini sahih.[10]
           Perlu dicatat terlebih dahulu bahwa semua hadis adalah laporan sahabat, dalam pengertian bahwa apa yang di ucapkan, dilakukan atau di setujui Nabi saw dilaporkan oleh para sahabat. Laporan Sahabat seperti apa yang dapat dinyatakan sebagai hadis? Dalam ilmu hadis terdapat beberapa kriteria untuk laporan sahabat dapat dinyatakan sebagai hadis Nabi Saw. Salah satu diantaranya adalah apabila Sahabat yang melaporkan hadis itu menyatakan bahwa Nabi Saw memerintahkan, melarang, mewajibkan, menghalalkan, atau membolehkan sesuatu dan semacam itu.
Contohnya hadis dari Ibnu Umar:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ أَمَرَ أَهْلَ الْمَدِينَةِ أَنْ يُهِلُّوا مِنْ ذِي الْحُلَيْفَةِ، وَأَهْلَ الشَّامِ مِنَ الْجُحْفَةِ، وَأَهْلَ نَجْدٍ مِنْ قَرْنٍ.
“Dari Ibnu Umar, dari Nabi Saw (diriwayatkan) bahwa beliau memerintahkan penduduk Madinah, untuk mulai talbiah dari Zulhulaifa, penduduk Syam dari al-Juhfa, dan penduduk Najd dari Qarnul-Manazil.
        Ibn ‘Umar melaporkan bahwa Nabi saw memerintahkan memakai ihram dan memulai talbiyah dari tempat-tempat yang disebutkan dalam hadis sesuai dengan arah kedatangan jamaah haji tersebut. Ketentuan miqat dalam laporan Ibn ‘Umar dinyatakan sebagai hadis karena merupakan perintah Nabi saw.[11]
       Contoh lain adalah Nabi saw  dari sahabat Abu Hurairah r.a :
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعِ الْحَصَاةِ، وَعَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ

“Dari Abu Huraira (diriwayatkam bahwa) ia berkata : Rasulullah saw melarang jual beli lempar kerikil dan jual beli garar (tidak berkepastian).
          Laporan Abu Hurairah ini adalah hadis Nabi saw (marfu’) karena di dalamnya sahabat menyatakan Nabi saw melarang sesuatu. Jual beli lempar kerikil adalah jual beli dengan menetapkan sejumlah harga kemudian melemparkan sebuah kerikil ke arah sejumlah barang, maka barang yang terkena lemparan kerikil itulah yang menjadi obyek jual beli. Dua contoh ini jelas dan tidak di ragukan lagi tentang perintah dan larangan Nabi saw karena hal itu jelas dalam pernyataan sahabat tersebut.






BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
        Jumhur imam hadits dan fiqh sepakat bahwa syarat bagi orang yang dapat di pakai hujjah riwayatnya hendaknya adil dan dhabith atas hadits yang diriwayatkan. Kedua ini tidak bisa di pisahkan dan harus memenuhi kriteria dan syarat periwayatnnya seperti beragama islam,baligh,berakal sehat,takwa, dan berprilaku sejalan dengan muru’ah.
          Pembicaraan mengenai keadilan sahabat tak habis-habisnya dibicarakan, karena mengandung kontroversi pemikiran beserta sudut tinjau masing-masing. Tapi jumhur muhadditsin telah sepakat menyatakan bahwa, para sahabat memiliki keadilan yang relatif tinggi di bandingkan dengan generasi berikutnya. Sekalipun berbeda pendapat dengan berbagai mazhab-mazhab dalam Islam.
              Perlu untuk diketahui bahwa semua hadis adalah laporan sahabat, dalam pengertian bahwa apa yang di ucapkan, dilakukan atau di setujui Nabi saw dilaporkan oleh para sahabat. Laporan Sahabat seperti apa yang dapat dinyatakan sebagai hadis? Dalam ilmu hadis terdapat beberapa kriteria untuk laporan sahabat dapat dinyatakan sebagai hadis Nabi Saw. Salah satu diantaranya adalah apabila Sahabat yang melaporkan hadis itu menyatakan bahwa Nabi Saw memerintahkan, melarang, mewajibkan, menghalalkan, atau membolehkan sesuatu dan semacam itu.






DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Sumarna, Metode Kritik Hadis, Bandung : Remaja Rosdakarya 2013.  
 Al-Maliki, Alawi. Ilmu Ushul Hadis,Yogyakarta : Pustaka Pelajar 2009.
Amin, Kamaruddin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis, Jakarta : Hikmah 2009.
Anwar, Syamsul, Interkoneksi Studi Hadis Dan Astronomi, Yogyakarta : Suara Muhammadiyah 2011.
Nuruddin‘Itr, Manhaj An-Naqd Fii ‘Ulumul Al-Hadits, Bandung : Remaja Rosdakarya 2012.





[1] Kamaruddin Amin, Menguji Kembali Keakuratan Metode Kritik Hadis (Jakarta : Hikmah 2009), h. 58.
[2] Abdurrahman, Elan Sumarna,  Metode kritik hadis (Bandung : Remaja Rosdakarya 2013 ), h. 54-57.
[3] Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar 2009),  h. 163.
[4] Nuruddin ‘Itr, Manhaj An-Naqd Fii  ‘Ulumul Al-Hadits, (Bandung : Remaja Rosdakarya 2012), h. 109.
[5] Abdurrahman, Elan Sumarna, Id at 33-34.
[6] Abdurrahman, Elan Sumarna, Id h. 34-36.
[7] Abdurrahman, Elan Sumarna, Id at 36-38.
[8] Abdurrahman, Elan Sumarna, Id at 38-42.
[9] Syamsul Anwar, Interkoneksi Studi Hadis dan Astronomi (Yogyakarta : Suara Muhammadiyah 2011) h. 76-78.
[10] Ibid at 81.
[11] Syamsul Anwar,  id at 88.

Komentar

Postingan Populer