Tafsir Tradisional
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Pemikiran tentang tafsir seringkali menghadapkan kita kepada
pemimpin Islam yang wara’ dan sangat keras atas hal itu di masa dinasti
Umaiyah. Ibnu Wail, saudara kandung Ibnu Salamah, yang hidup semasa dengan
Ziyad putra ayahnya dan Hajjaj, ketika di tanya tentang sesuatu yang berkenaaan
dengan al-Qur’an berkata: “Sungguh Allah telah menurunkan
kebenaran bagi orang yang dikehendaki oleh-Nya. Yakni dia tidak menghendaki
untuk menyibukkan dirinya dengan pembicaraan makna-makna yang ada di balik
al-Qur’an.[1]
Memang al-Qur’an tidak turun untuk membarengkan (menyamakan) teori
filsafat dengan teks ilahi, “juga tidak untuk menghantam antara satu dengan
yang lainnya”, tetapi disini perlu dicermati adalah kalimat al-Qur’an : “Apabila
kamu melihat orang yang memperolok ayat-ayat kami maka tinggalkanlah mereka
sehingga mereka membicarakan hal yang lain” (al-An’am: 68).
Contoh-contoh seperti ini dikembalikan pada hadis yang
diriwayatkannya dari Rasulullah Saw, bahwa beliau mengkhawatirkan masa depan
umatnya dari tiga hal yang terjadi, diantaranya adalah munculnya orang-orang
yang menafsirkan al-Qur’an tidak sesuai dengan tafsir yang sahih: “Orang-orang
yang menta’wilkan al-Qur’an tidak berdasarkan pada ta’wil yang sebenarnya”.
Tatkala ada peringatan untuk tidak melakukan penafsiran dan ketika
dikatakan bahwa generasi masa lalu (salaf) yang terdiri dari para pemuka Islam
yang sangat mendalam pengetahuannya yang ketika disodori pertanyaan tentang
tafsir mereka segera berpaling karena tidak senang, maka sebab utama dari
penolakan terhadap hal ini adalah berkiblatnya mereka pada doktrin khusus
yakni: al-Qur’an tidak boleh di tafsirkan dengan rasio, yakni murni apalagi
dengan hawa nafsu yang cenderng spekulatif. Namun jalan yang paling benar
adalah menafsirkannya dengan menggunakan “ilmu pengetahuan”.
Ada sebuah atsar yang dinisbatkan kepada Abu Bakar : “Bumi
manakah yang dapat menampungku dan langit manakah yang akan menaungiku apabila
aku berkata tentang al-Qur’an dengan pendapatku atau dengan apa yang tidak aku
ketahui”.[2]
B.
RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah makalah
ini adalah sebagai berikut :
1.
Apa pengertian tafsir tradisional?
2.
Apa saja bagian dari bentuk
penafsiran?
3.
Bagaimana fungsi hadis terhadap
Alqur’an?
C.
TUJUAN
Sesuai dengan rumusan masalah yang akan di bahas dalam makalah ini,
maka tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui:
1.
Pengertian Tafsir Tradisional
2.
Maksud Bentuk Penafsiran
3.
Fungsi Hadis terhadap Alqur’an
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Tafsir Tradisional
1.
Tafsir
Istilah tafsir di dalam al-Quran dapat dilihat pada surah al-Furqan
(25) : 33 yang berbunyi:
وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ
بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
Tiadalah orang-orang yang kafir itu datang
kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil melainkan Kami datangkan kepadamu
sesuatu yang benar dan yang paling baik
penafsirannya (penjelasannya).
Secara harfiyah, kata tafsir yang berasal dari bahasa Arab dan merupakan
bentuk masdar dari kata fassara serta terdiri dari huruf fa, sin,
dan ra itu berarti keadaan jelas (nyata dan terang) dan memberikan
pelajaran. Ahmad al-Syirbashi memaparkan ada dua makna tafsir di kalangan
ulama, yakni : pertama, keterangan atau penjelasan sesuatu yang tidak
jelas dalam al-Quran yang dapat menyampaikan pengertian yang di kehendaki, kedua,merupakan
bagian dari ilmu Badi’, yaitu salah satu cabang ilmu sastra Arab yang
mengutamakan keindahan makna dalam menyusun kalimat.[3]
2. Tradisional
Menurut kamus besar bahasa
Indonesia tradisional adalah sikap dan cara
berpikir serta bertindak yg selalu berpegang teguh pada norma dan adat
kebiasaan yg ada secara turun-temurun.
Adapun yang dimaksud dengan Tafsir
Tradisional adalah tafsir yang bersumber dari tradisi yaitu ajaran-ajaran dan
pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh otoritas yang memiliki
konsep untuk merumuskan dalam pandangan keagamaan Islam.
B.
Bentuk Penafsiran
Istilah bentuk penafsiran tidak
dijumpai dalam kitab-kitab ‘Ulum Alquran (Ilmu Tafsir) pada abad-abad
yang silam bahkan sampai periode modern sekalipun tidak ada ulama tafsir yang
menggunakannya. Oleh karenanya tidak aneh bila dalam kitab klasik semisal al-Burhan
fi’ Ulum al-Quran karangan al-Zarkasyi, al-Itqan fi’ Ulum al-Qur’an
karya al-Suyuthi, dan lain-lain tidak di jumpai term tersebut. Kondisi ini berlanjut sampai abad modern. Artinya
ulama pada periode modern ini juga tidak
menggunakan istilah itu.
Itulah sebabnya karya al-Zarqani, Manahil
al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Quran tidak memuat istilah tersebut, tapi ia
memasukkannya ke dalam kategori pembagian tafsir, yang menurutnya ada tiga
yaitu ma’tsur, al-ra’y dan isyari. Demikian
pula para penulis lain seperti Prof. Shubhi al-Shalih dalam kitabnya Mabahits
fi’ Ulum al-quran. Prof. Abdullah Darraz dalam kitabnya al-Naba’
al-Azhim dan al-Madkhal ila al-Quran dan lain-lain. Semua penulis tidak ada
yang menggunakan istilah tersebut.[4]
Berdasarkan fakta sejarah itu tampak dengan jelas
istilah terkesan rancu. Pengelompokan beberapa istilah teknis (technical
term) dalam ilmu tafsir tersebut masih menyisakan persoalan yang pelik
seperti tampak dalam buku Membumikan Al-quran oleh M Quraish Shihab ma’tsur
dan ra’y, misalnya, dinyatakan sebagai corak dan metode tafsir. Kemudian
pada bagian lain dinyatakannya pula ada empat metode tafsir berdasarkan
berdasarkan pendapat Al-farmawi yaitu tahliliy, ijmaliy, muqarin, dan mawahu’y.[5]
1.
Bentuk riwayat (al-ma’tsur)
Penafsiran yang berbentuk riwayat atau apa yang sering
disebut dengan ‘tafsir bi al-ma’tsur adalah bentuk penafsiran yang paling tua dalam khazanah intelektual Islam.
Tafsir ini sampai sekarang masih terpakai dan dapat dijumpai di dalam
kitab-kitab tafsir seumpama Tafsir al-Thabari, Tafsir Ibn Katsir, al-Durr
al-Mantsur fi al-Tafsir bi Ma’tsur karya al-Suyuthi dan lain-lain.
Di syaratkannya bagan hadis
merupakan point yang cukup di perhitungkan dalam wilayah ilmu-ilmu keagamaan
dan secara khusus disaksikan kesahihannya, yakni tafsir yang didasarkan pada
“ilmu” (al-Ilm) adalah tafsir yang dapat ditetapkan bahwa Nabi sendiri
atau sahabatnya yang bersentuhan langsung dalam wilayah pengajaran hal itu
telah menjelaskannya dengan penjelasan makna al-Qur’an dan dalalahnya (tafsir bi
al-ma’tsur). [6]
Tafsir bi al-ma’tsur
terbagi beberapa bagian : pertama, menafsirkan Alquran dengan Alquran; kedua,
menafsirkan Alquran dengan as-Sunnah; ketiga, menafsirkan Alquran dengan
pendapat sahabat dan tabi’in. Yang kesemuanya itu tergolong dalam corak naqli
(al-laun an-naqli).
1.
Menafsirkan Alquran dengan Alquran
Sebagian dari ayat-ayat Alqur’an memberikan penafsiran
terhadap ayat lainnya. Tentang penafsiran ayat-ayat Alquran dengan ayat lainnya
tidak ada perbedaan pandangan di antara ulama karena mereka sepakat bahwa ada
ayat Alqur’an yang diturunkan sebagai penjelasan atau kelengkapan ayat lainnya.
Sebagian ayat menjadi lebih jelas maksudnya ketika dikaitkan dengan ayat-ayat
tertentu.
Ayat Alqur’an yang dikelasakan secara umum di suatu
tempat dijelaskan di tempat lain secara terperinci. Bagian yang belum
dijelaskan di suatu tempat (mubham) dijelaskan di tempat lain. Ayat yang
tidak terbatas pesan dan pengertiannya (muthlaq) di suatu surat menjadi
terikat di surat lainnya (muqayyad). Ayat yang bersifat ‘amm
(umum) di suatu konteks ditakhshiskan dalam konteks lainnya.
Seperti diketahui bahwa Rasulullah Saw adalah orang
pertama menjadi mufassir. Beliau pula yang
mengajarkan dan mencontohkan penggunaan metode penafsiran demkian.
2.
Menafsirkan Alqur’an dengan
as-Sunnah
Penafsiran
Alqur’an dengan Sunnah didasarkan atas firman Allah bahwa :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا
رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا
تَعْلَمُونَ (43) بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ
لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (44)
Dan
tidaklah kami utus sebelummu selain manusia lelaki. Kepada mereka kami beri
wahyu. Maka, tanykanlah kepada ahli risalah jika kamu tidak tahu. (kami utus
mereka) dengan tanda-tanda yang jelas dan kitab-kitab kenabian yang samar, dan
kami turunkan kepadamu risalh ini supaya kau jelaskan kepada manusia apa yang
sudah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka renungkan (QS.
an-Nahl, 16:43-44).
Berkenaan
dengan prinsip tersebut, Imam asy-Syafi’i, seperti yang dikutip oleh Ibnu
Taymiyyah, mengatakan bahwa setiap hukum yang ditetapkan Rasulullah Saw
merupakan pemahaman yang otomatis berasal dari Alqur’an.
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ
بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلَا تَكُنْ
لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
Kami telah menurunkan kepadamu
Kitab yang membawa kebenaran agar engkau mengadili manusia sesuai dengan yang
diajarkan Allah kepadamu. Dan janganlah engkau menjadi pembela para pengkhianat
(QS.
an-Nisa 4:105). Rasulullah Saw bersabda: “Ketahuilah bahwa aku diberi Alqur’an
dan yang semisalnya (hadis) bersamanya” (HR Abu Dawud).
Jadi, peran rasul terhadap Alquran
adalah menjelaskan bagian yang mujmal (global) dan mengkhususkan yang
‘amm (umum), menjelaskan arti dan kaitan kata tertentu dalam Alqur’an; memberi
ketentuan tambahan terhadap beberapa peraturan yang telah ada dalam Alqur’an,
seperti zakat fitrah; menjelaskan nasakh (penghapusan) ayat; dan menegaskan
hukum-hukum yang ada dalm Al-Qur’an.[7]
3. Menafsirkan Alquran dengan
pendapat Sahabat dan Tabi’in
Jika mufassir tidak
mendapatkan penafsiran dari Al-quran dan tidak pula dengan Sunnah, seyogyanya
ia merujuk kepada pendapat Sahabat (qaul shahabi), terutama yang bersifat sima’i
seperti sabab nuzul dan kisah. Sahabat adalah orang yang paling pantas
dimintai pendapat karena kelebihan dan keistimewaan darinya daripada
generasi-generasi sesudahya karena mereka hidup sezaman dengan Nabi dan secara
langsung menyaksikan proses penurun wahyu dan menerima langsung penafsiran Nabi
Saw.[8]
Alquran sendiri mengakui kelebihan
dan keutamaan sahabat, bahkan tabi’in. Orang-orang yang terdahulu
lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar,
serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka
dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga
yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Mereka kekal didalamnya
selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. Sesungguhnya, Allah telah menerima
tobat Nabi, orang-orang Muhajirin dan Anshar yang mengikuti Nabi dalam masa
kesulitan, setelah hati dari segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian
Allah menerima tobat mereka itu. Sesungguhnya, Allah maha Pengasih lagi Maha
Penyayang kepada mereka (QS at-Taubah, 9: 117). Dalam salah satu hadis,
Nabi Muhammad Saw pun pernah melukiskan kelebihan para sahabat.
Tentang penafsiran para sahabat,
hampir semua ahli tafsir menyetujui dan sepakat. Tetapi, terkait dengan
penafsiran tabi’in dan antara ulama tafsir terjadi perselisihan yag
sangat tajam. Jika tentang penafsiran tabi’in saja terjadi perselisihan
pendapat, apalagi berpegang dengan pendapat tabi’in at-tabi’in.
2.
Bentuk pemikiran (al-Ra’y)
Setelah berakhir masa salaf sekitar abad ke-3 H dan peradaban
Islam semakin maju dan berkembang, maka lahirlah berbagai mazhab dan aliran di
kalangan umat. Masing-masing golongan berusaha meyakinkan pengikutnya dalam
mengembangkan faham mereka. Untuk mencapai maksud, mereka mencari ayat-ayat
Alquran dan hadis-hadis Nabi saw lalu mereka tafsirkan sesuai dengan keyakinan
yang mereka anut.
Ketika inilah mulai berkembang tafsir dengan bentuk al-ra’y
(tafsir melalui pemikiran atau ijtihad). Kaum fuqaha’ menafsirkan dari
sudut hukum fikih seperti al-Jashshash, al-Qurthubi, dan lain-lain; kaum
teolog menafsirkannya dari sudut pemahaman teologis seperti al-Kasysyaf
karangan al-Zamakhsyari, dan kaum sufi juga menafsirkan Alqur’an menurut
pemahaman dan pengalaman batin mereka seperti Tafsir al-Qur’an al-Azhim
oleh al-Tustari; Futuhat Makkiyah oleh Ibn ‘Arabi; dan lain-lain.
Tafsir bi al-Ra’y terbagi
beberapa bagian : pertama, akal (al-Laun al-Aqli); kedua,
ilmu (al-Laun al-Ilmi); ketiga, falsafah (al-Laun al-falsafi);
keempat, Intuisi (al-Laun al-Isyari).
Adapun hadis-hadis yang menyatakan bahwa
para ulama salaf lebih suka diam ketimbang menafsirkan Alqur’an, sebagaimana
dapat dipahami dari ucapan Abu Bakar yang dikutip di muka, tidak dapat dijadikan dalil untuk melarang tafsir bi
al-ra’y sebab sebagaimana ditulis oleh Ibn Taymiyat: “Mereka senantiasa membicarakan
apa-apa yang mereka ketahui dan mereka diam pada hal-hal yang tidak mereka
ketahui. Inilah kewajiban setiap orang (lanjutnya), ia harus diam kalau tidak
tahu, dan sebaliknya harus menjawab jika ditanya tentang sesuatu yang
diketahuinya”. Pendapat Ibn Taymiyat ini ada benarnya Karena didukung oleh
Alqur’an antara lain terdapat dalam ayat 187 dari Ali Imran : “………لَتُبَيِّنُنَّهُ
لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُ...... (Hendaklah kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia
dan tidak menyembunyikannya) dan di pertegas lagi oleh hadis sahih dari
Ibnu ‘Umar :
مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أُلْجِمَ يَوْمَ
الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ
(Barang siapa ditanya sesuatu yang diketahuinya, lalu dia diam,
maka mulutnya akan di kunci pada hari kiamat dengan kekang dari api neraka).
Jadi diamnya ulama salaf tentang suatu ayat bukan mereka tak mau
menafsirkannya dan pula karena dilarang menafsirkannya, melainkan karena
kesangathati-hatian mereka supaya tidak masuk ke dalam apa yang disebut takhmim
(spekulasi, terkaan) dalam menafsirkan Alqur’an. Apabila ini terjadi, ancamannya
amat berat masuk neraka.[9]
Setiap tafsir tradisional, baik yang disebut bi al-ma’tsur
maupun bi al-ma’qul, pada dasarnya tidak dapat menghindarkan diri dari nalar. Hal ini
karena penafsir bagaimanapun selalu menarik makna dengan pemikiran murni, baru
setelah itu beralih pada pemberian justifikasi, baik berdasarkan riwayat (ma’tsur),
ataupun argumen pikiran (ma’qul). Penggunaan penalaran semacam ini
bukannya tanpa masalah.[10]
Dalam tafsir bi
al-ma’tsur, misalnya meskipun penafsiran didasarkan pada riwayat-riwayat
hadis yang sahih, namun maknanya tetaplah hipotetis. Kebenaran riwayat
hadis-hadis tidak mempengaruhi kebenaran hipotetis makna-makna yang ditulis
mufassir. Sementara itu, tafsir bi al-ma’qul tidak kalah tidak mungkin
menjadi positif hanya dengan argumen yang sama hipotetisnya. Hal ini terbukti
dengan seringnya dijumpai kontroversi dan pluralitas pemahaman terhadap suatu
ayat dan teks. Di samping itu, tafsir tradisional sering kali terjebak pada
penafsiran yang bertele-tele, menafsirkan teks secara umum tanpa memperhatikan apakah
dibutuhkan penafsiran atau tidak.[11]
C. Fungsi Hadis Terhadap Alqur’an
Fungsi hadis terhadap Alqur’an
secara umum adalah untuk menjelaskan makna kandungan Alqur’an yang sangat dalam
dan global atau li al-bayan (menjelaskan). Hanya penjelasan itu kemudian
oleh para ulama diperinci ke berbagai bentuk penjelasan. Secara garis besar ada
empat makna fungsi penjelasan (bayan) hadis terhadap Alqur’an, yaitu
sebagai berikut:
1. Bayan Taqrir
Posisi hadis sebagai penguat
(taqrir) atau memperkuat keterangan Alqur’an (ta’kid). Sebagian ulama menyebut
bayan taqrir atau bayan taqrir. Artinya hadis menjelaskan apa yang sudah
dijelaskan Alqur’an, misalnya hadis tenteng shalat, zakat, puasa, dan haji,
menjelaskan ayat-ayat Alqur’an tentang hal itu juga :
حديث ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما قَالَ: قَالَ رَسُولُ
اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بُنِيَ الإِسْلامُ عَلى خَمْسٍ:
شَهادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ وَإِقامِ
الصَّلاةِ وَإِيتاءَ الزَّكاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ.
Dari Ibn Umar ra. Berkata : Rasulullah Saw bersabda : Islam
didirikan atas lima perkara: menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah
dan bahwa Muhammad utusan Allah, mendirikkan shalat, menunaikan zakat,haji dan
puasa Ramadhan. (HR Al-Bukhari).
Hadis ini memperkuat keterangan
perintah shalat, zakat, dan puasa dalam Alqur’an Surah Al-Baqarah (2): 83 dan
182 dan perintah haji pada Surah Ali Imran (3): 97.
2.
Bayan Tafsir
Hadis sebagai penjelas (tafsir) terhadap Alqur’an dan fungsi
inilahyang terbanyak pada umumnya, penjelasan yang diberikan ada 3 macam, yaitu
sebagai berikut:
a.
Tafshil
Al-Mujmal
Hadis memberi penjelasan secara terperinci pada ayat-ayat Alqur’an
yang bersifat global (tafshil al-mujmal= memperinci yang global), baik
menyangkut masalah ibadah maupun hukum, sebagian ulama menyebutnya bayan tafshil
atau bayan tafsir. Misalnya perintah shalat pada beberapa ayat dalam
Alqur’an hanya di terangkan secara global dirikanlah shalat tanpa disertai
petunjuk bagaimana pelaksanaannya berapa kali sehari semalam, berapa rakaat,
kapan waktunya, rukun-rukunnya, dan lain sebagainya. Perincian itu ada dalam
hadis Nabi, misalnya sabda Nabi Saw:
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
Shalatlah kamu sebagaimana engkau melihat aku shalat. (HR. Al-Bukhari).
Hadis di atas menjelaskan bagaimana shalat itu dilaksanakan secara
benar sebagaimana firman Allah dalam Alquran. Demikian juga masalah haji dan
zakat.
Dalam masalah haji Nabi bersabda :
لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ
b.
Takhshish
Al-‘Amm
Hadis mengkhususkan ayat-ayat Alquran yang umum, sebagian ulama
menyambut bayan takhshish. Misalnya ayat-ayat tentang waris dalam Surah
An-Nisa’ (4): 11
يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ
لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
Allah mensyari’atkan bagimu tentang (bagian pusaka)
anak-anakmu, yaitu : bagian seoerang anak laki-laki sama dengan bagian dua
orang perempuan.
Kandungan di atas menjelaskan pembagian harta pusaka
terhadap ahli waris, baik anak laki-laki, anak perempuan, satu dan atau banyak,
orangtua (bapak dan ibu) jika ada anak atau tidak ada anak, jika ada saudara
atau tidak ada dan seterusnya. Ayat harta warisan ini bersifat umum, kemudian
dikhususkan (takhshish) dengan hadis Nabi yang melarang mewarisi harta
peninggalan para Nabi, berlainan agama, dan pembunuh.
c.
Taqyid
Al-Muthlaq
Hadis membatasi kemutlakan ayat-ayat Alquran. Artinya Alquran
keteranganya secara mutlak, kemudian di takhshish dengan hadis yang khusus.
Sebagian ulama menyebut bayan taqyid.
Misalnya firman Allah dalam Surah Al-Maidah (5): 38
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا
أَيْدِيَهُمَا
Pencuri lelaki dan pencuri perempuan, maka potonglah tangan-tangan
mereka.
Pemotongan tangan pencuri dalam ayat di atas secara mutlak nama
tangan tanpa dijelaskan batas tangan yang harus di potng apakah dari pundak,
sikut, dan pergelangan tangan. Kata tangan meliputi hasta dari bahu
pundak, lengan dan sampai telapak tangan. Kemudian pembatasan itu baru
dijelaskan dengan hadis ketika ada seorang pencuri datang ke hadapan Nabi dan
diputuskan hukumn dengan pemotongan tangan, maka dipotong pada pergelangan
tangan.
3.
Bayan Naskhi
Hadis penghapus (naskh) hukum
yang diterangkan dalam aAlqur’an. Misalnya kewajiban wasiat yang diterangkan
dalam Surah Al-Baqarah (2): 180
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ
الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ
بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Diwajibkan atas kamu,
apabila seseorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia
meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya
secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
Ayat di atas di-nasakh
dengan hadis Nabi :
إِنَّ اللَّهَ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، وَلَا
وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
Sesungguhnya Allah memberikan hak
kepada setiap yang mempunyai hak, dan tidak ada wasiat itu wajib bagi waris.
(HR. An-Nasa’i).
4.
Bayan Tasyri’i
Hadis menciptakan hukum syariat (tasyri’i)
yang belum dijelaskan oleh Alqur’an. Para ulama berbeda pendapat tentang pungsi
Sunnah sebagai dalam pada sesuatu hal yang tidak disebutkan dalam Alqur’an.
Mayoritas mereka berpendapat bahwa sunnah sendiri sebagai dalil hukum dan yang
lain berpendapat bahwa Sunnah menetapkan dalil yang terkandung atau yang
tersirat secara implisit dalam teks Alquran.
Dalam hadis terdapat hukum-hukum
yang tidak dijelaskan Alqur’an, ia bukan penjelas dan penguat (ta’kid).Tetapi
sunnah sendirilah yang menjelaskan sebagai dalil atau ia menjelaskan yang
tersirat dalam ayat-ayat Alquran. Misalnya keharaman jual beli dengan berbagai
cabangnya menerangkan yang tersirat dalam surah Al-Baqarah (2) : 275 dan
An-Nisa’ (4) : 29
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا
أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ
تَرَاضٍ مِنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku
suka sama suka diantara kamu (QS. An-Nisa’
(4) : 29).
Semua ulama mengakui adanya hubungan
bayan sunnah terhadap Alqur’an, tetapi berbeda dalam istilah yang mereka
pergunakan. Misalnya Ahl Ar-Ra’yi berpendapat penjelasan sunnah terhadap
Alquran terbagi menjadi 3 hal, yaitu bayan taqrir (memperkuat), bayan
tafsir (menjelaskan yang sulit) dan bayan tabdil atau naskh
(mengganti atau menghapus). Imam malik membagi ada 5 bagian, yaitu bayan
taqrir, bayan tawdhih (bayan tafsir), bayan tafshil
(penjelasan terperinci), bayan basthi/bayan ta’wil (keterangan yang
panjang lebar), dan bayan tasyri’ (menciptakan hukum). Asy-Syafi’i
menetapkan 5 bayan, yaitu bayan tafshil, bayan takhshish
(mengkhususkan), bayan ta’yin (menetapkan satu dari dua atau lebih
kemungkinan makna), bayan tasyri’I dan bayan nasakh. Sedangkan Imam
Ahmad bin Hambal dalam hal ini sepaham dengan Asy-Syafi’i. Imam Ibnu Al-Qayyim
dalam kitab A’lam Al-Muwaqqi’in sebagaimana yang dikutip Ash-Shiddieqy
menjelaskan pendapat Imam Ahmad ada 4 penjelasan, yaitu bayan ta’kid, bayan
tafsir dan bayan tasyri’, dan bayan takhshish serta bayan
taqyid (memberikan batasan yang mutlak).[12]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Rasulullah Saw
menafsirkan Qs. Al-An’am (6) : 82 dengan Qs. Luqman (31): 13, atau dengan kata
lain Rasulullah Saw telah menafsirkan al-Quran dengan al-Quran itu sendiri. Kemudian
Rasulullah menafsirkan Qs.Yusuf (12) : 4 dengan wahyu yang dibawa Jibril kepadanya berkenaan dengan nama-nama bintang
yang di tanyakan orang yahudi itu; artinya Rasulullah telah menafsirkan
al-Quran dengan wahyu yang hakekatnya secara makna memang dari Allah tetapi
memakai bahasa Nabi sendiri.
Pada
dasarnya itu termasuk dalam kaidah dasar tafsir yang terdiri dari: pertama,
menafsirkan Alquran dengan Alquran; kedua, menafsirkan Alquran dengan
as-Sunnah, ketiga,menafsirkan Alquran dengan pendapat sahabat dan
tabi’in. tentang penafsiran para sahabat, hampir semua ahli tafsir menyetujui
dan bersepakat. Tetapi, terkait denagn
penafsiran tabi’in, dan antara ulama tafsir terjadi perselisihan yang
sangat tajam. Jika tentang penafsiran tabi’in saja terjadi perselisihan
pendapat, apalagi berpegang dengan pendapat tabi’in at-tabi’in.
Bahwa
secara garis besar perkembangan tafsir sejak dulu sampai sekarang adalah
melalui dua bentuk tersebut, yaitu bi al-ma’tsur (melalui riwayat) dan bi
al-ra’y (melalui pemikiran atau ijtihad). Kedua bentuk penafsiran
sebagaimana diuraikan menggambar kepada kita bahwa Alquran yang telah menjadi
kitab suci umat Islam sejak lebih empat belas abad yang silam dan itu telah
dibuktikan oleh sejarah mampu membimbing kehidupan di muka bumi ini sebagaimana
dapat diamati dalam kedua bentuk penafsiran yang berkembang tersebut, terutama
tafsir bi al-ra’y karena tafsir dalam bentuk ini dapat sejalan degan
perkembangan zaman dan merespon berbagai permasalahan yang timbul di tengah
masyarakat yang semakin modern dan majemuk.
DAFTAR PUSTAKA
Izzan, Ahmad, Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung : Tafakur
2011.
Suryadilagi, Alfatih, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta :
Teras 2010.
Goldziher, Ignaz, Mazhab Tafsir Dari Klasik Hingga modern,
Yogyakarta : elsaq Press 2006.
Saenong, Ilham, Hermeneutika Pembebasan Metodologi Tafsir
Al-Quran Menurut Hassan Hanafi, Jakarta : Teraju 2002.
Khon, Majid, Ulumul Hadis, Jakarta : Amzah 2009.
Baidan, Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar 2011.
[1]
Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir Dari Klasik Hingga Modern, (Yogyakarta :
eLSAQ Press 2006), hlm. 79.
[2]
Ibid, hlm. 84-85.
[3] Alfatih Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta : Teras
2010), hlm. 27.
[4]
Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta : Pustaka
Pelajar 2011), hlm. 368.
[5]
Ibid, hlm. 369.
[6]
Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir Dari Klasik Hingga Modern, (Yogyakarta :
eLSAQ Press 2006), hlm. 87.
[7] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung
: Tafakur 2011), hlm. 123-125
[8] Id. Hlm 125-126.
[9]
Nashruddin,……………………………………..hlm. 378.
[10]
Ilham Saenong, Hermeneutika Pembebasan Metodologi Tafsir Al-Quran Menurut
Hassan Hanafi, (Jakarta : Teraju
2002), hlm. 144.
[11]
Ibid.
[12]
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta : Amzah 2009), hlm. 16-21.
Komentar
Posting Komentar