Tafsir Tradisional



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Pemikiran tentang tafsir seringkali menghadapkan kita kepada pemimpin Islam yang wara’ dan sangat keras atas hal itu di masa dinasti Umaiyah. Ibnu Wail, saudara kandung Ibnu Salamah, yang hidup semasa dengan Ziyad putra ayahnya dan Hajjaj, ketika di tanya tentang sesuatu yang berkenaaan dengan al-Qur’an berkata: “Sungguh Allah telah menurunkan kebenaran bagi orang yang dikehendaki oleh-Nya. Yakni dia tidak menghendaki untuk menyibukkan dirinya dengan pembicaraan makna-makna yang ada di balik al-Qur’an.[1]
Memang al-Qur’an tidak turun untuk membarengkan (menyamakan) teori filsafat dengan teks ilahi, “juga tidak untuk menghantam antara satu dengan yang lainnya”, tetapi disini perlu dicermati adalah kalimat al-Qur’an : “Apabila kamu melihat orang yang memperolok ayat-ayat kami maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan hal yang lain” (al-An’am: 68).
Contoh-contoh seperti ini dikembalikan pada hadis yang diriwayatkannya dari Rasulullah Saw, bahwa beliau mengkhawatirkan masa depan umatnya dari tiga hal yang terjadi, diantaranya adalah munculnya orang-orang yang menafsirkan al-Qur’an tidak sesuai dengan tafsir yang sahih: “Orang-orang yang menta’wilkan al-Qur’an tidak berdasarkan pada ta’wil yang sebenarnya”.
Tatkala ada peringatan untuk tidak melakukan penafsiran dan ketika dikatakan bahwa generasi masa lalu (salaf) yang terdiri dari para pemuka Islam yang sangat mendalam pengetahuannya yang ketika disodori pertanyaan tentang tafsir mereka segera berpaling karena tidak senang, maka sebab utama dari penolakan terhadap hal ini adalah berkiblatnya mereka pada doktrin khusus yakni: al-Qur’an tidak boleh di tafsirkan dengan rasio, yakni murni apalagi dengan hawa nafsu yang cenderng spekulatif. Namun jalan yang paling benar adalah menafsirkannya dengan menggunakan “ilmu pengetahuan”.
Ada sebuah atsar yang dinisbatkan kepada Abu Bakar : “Bumi manakah yang dapat menampungku dan langit manakah yang akan menaungiku apabila aku berkata tentang al-Qur’an dengan pendapatku atau dengan apa yang tidak aku ketahui”.[2]
B.     RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah makalah ini adalah sebagai berikut :
1.      Apa pengertian tafsir tradisional?
2.      Apa saja bagian dari bentuk penafsiran?
3.      Bagaimana fungsi hadis terhadap Alqur’an?
C.    TUJUAN
Sesuai dengan rumusan masalah yang akan di bahas dalam makalah ini, maka tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk mengetahui:
1.      Pengertian Tafsir Tradisional
2.      Maksud Bentuk Penafsiran
3.      Fungsi Hadis terhadap Alqur’an








BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Tafsir Tradisional
1.      Tafsir
Istilah tafsir di dalam al-Quran dapat dilihat pada surah al-Furqan (25) : 33 yang berbunyi:
وَلَا يَأْتُونَكَ بِمَثَلٍ إِلَّا جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ وَأَحْسَنَ تَفْسِيرًا
      Tiadalah orang-orang yang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil melainkan Kami datangkan kepadamu sesuatu  yang benar dan yang paling baik penafsirannya (penjelasannya).
  Secara harfiyah, kata tafsir yang berasal dari bahasa Arab dan merupakan bentuk masdar dari kata fassara serta terdiri dari huruf fa, sin, dan ra itu berarti keadaan jelas (nyata dan terang) dan memberikan pelajaran. Ahmad al-Syirbashi memaparkan ada dua makna tafsir di kalangan ulama, yakni : pertama, keterangan atau penjelasan sesuatu yang tidak jelas dalam al-Quran yang dapat menyampaikan pengertian yang di kehendaki, kedua,merupakan bagian dari ilmu Badi’, yaitu salah satu cabang ilmu sastra Arab yang mengutamakan keindahan makna dalam menyusun kalimat.[3]
2.      Tradisional
Menurut kamus besar bahasa Indonesia tradisional adalah sikap dan cara berpikir serta bertindak yg selalu berpegang teguh pada norma dan adat kebiasaan yg ada secara turun-temurun.
Adapun yang dimaksud dengan Tafsir Tradisional adalah tafsir yang bersumber dari tradisi yaitu ajaran-ajaran dan pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh otoritas yang memiliki konsep untuk merumuskan dalam pandangan keagamaan Islam.

B.     Bentuk Penafsiran
Istilah bentuk penafsiran tidak dijumpai dalam kitab-kitab ‘Ulum Alquran (Ilmu Tafsir) pada abad-abad yang silam bahkan sampai periode modern sekalipun tidak ada ulama tafsir yang menggunakannya. Oleh karenanya tidak aneh bila dalam kitab klasik semisal al-Burhan fi’ Ulum al-Quran karangan al-Zarkasyi, al-Itqan fi’ Ulum al-Qur’an karya al-Suyuthi, dan lain-lain tidak di jumpai term tersebut. Kondisi ini berlanjut sampai abad modern. Artinya ulama  pada periode modern ini juga tidak menggunakan istilah itu.
Itulah sebabnya karya al-Zarqani, Manahil al-‘Irfan fi ‘Ulum al-Quran tidak memuat istilah tersebut, tapi ia memasukkannya ke dalam kategori pembagian tafsir, yang menurutnya ada tiga yaitu ma’tsur, al-ra’y dan isyari. Demikian pula para penulis lain seperti Prof. Shubhi al-Shalih dalam kitabnya Mabahits fi’ Ulum al-quran. Prof. Abdullah Darraz dalam kitabnya al-Naba’ al-Azhim dan al-Madkhal ila al-Quran dan lain-lain. Semua penulis tidak ada yang menggunakan istilah tersebut.[4]
Berdasarkan fakta sejarah itu tampak dengan jelas istilah terkesan rancu. Pengelompokan beberapa istilah teknis (technical term) dalam ilmu tafsir tersebut masih menyisakan persoalan yang pelik seperti tampak dalam buku Membumikan Al-quran oleh M Quraish Shihab ma’tsur dan ra’y, misalnya, dinyatakan sebagai corak dan metode tafsir. Kemudian pada bagian lain dinyatakannya pula ada empat metode tafsir berdasarkan berdasarkan pendapat Al-farmawi yaitu tahliliy, ijmaliy, muqarin, dan mawahu’y.[5]
1.      Bentuk riwayat (al-ma’tsur)
Penafsiran yang berbentuk riwayat atau apa yang sering disebut dengan ‘tafsir bi al-ma’tsur adalah bentuk penafsiran yang  paling tua dalam khazanah intelektual Islam. Tafsir ini sampai sekarang masih terpakai dan dapat dijumpai di dalam kitab-kitab tafsir seumpama Tafsir al-Thabari, Tafsir Ibn Katsir, al-Durr al-Mantsur fi al-Tafsir bi Ma’tsur karya al-Suyuthi dan lain-lain.
Di syaratkannya bagan hadis merupakan point yang cukup di perhitungkan dalam wilayah ilmu-ilmu keagamaan dan secara khusus disaksikan kesahihannya, yakni tafsir yang didasarkan pada “ilmu” (al-Ilm) adalah tafsir yang dapat ditetapkan bahwa Nabi sendiri atau sahabatnya yang bersentuhan langsung dalam wilayah pengajaran hal itu telah menjelaskannya dengan penjelasan makna al-Qur’an dan dalalahnya (tafsir bi al-ma’tsur). [6]
Tafsir bi al-ma’tsur terbagi beberapa bagian : pertama, menafsirkan Alquran dengan Alquran; kedua, menafsirkan Alquran dengan as-Sunnah; ketiga, menafsirkan Alquran dengan pendapat sahabat dan tabi’in. Yang kesemuanya itu tergolong dalam corak naqli (al-laun an-naqli).
1.      Menafsirkan  Alquran dengan Alquran
Sebagian dari ayat-ayat Alqur’an memberikan penafsiran terhadap ayat lainnya. Tentang penafsiran ayat-ayat Alquran dengan ayat lainnya tidak ada perbedaan pandangan di antara ulama karena mereka sepakat bahwa ada ayat Alqur’an yang diturunkan sebagai penjelasan atau kelengkapan ayat lainnya. Sebagian ayat menjadi lebih jelas maksudnya ketika dikaitkan dengan ayat-ayat tertentu.
Ayat Alqur’an yang dikelasakan secara umum di suatu tempat dijelaskan di tempat lain secara terperinci. Bagian yang belum dijelaskan di suatu tempat (mubham) dijelaskan di tempat lain. Ayat yang tidak terbatas pesan dan pengertiannya (muthlaq) di suatu surat menjadi terikat di surat lainnya (muqayyad). Ayat yang bersifat ‘amm (umum) di suatu konteks ditakhshiskan dalam konteks lainnya.
Seperti diketahui bahwa Rasulullah Saw adalah orang pertama menjadi mufassir. Beliau pula yang mengajarkan dan mencontohkan penggunaan metode penafsiran demkian.

2.      Menafsirkan Alqur’an dengan as-Sunnah
Penafsiran Alqur’an dengan Sunnah didasarkan atas firman Allah bahwa :
وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ (43) بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ (44)
Dan tidaklah kami utus sebelummu selain manusia lelaki. Kepada mereka kami beri wahyu. Maka, tanykanlah kepada ahli risalah jika kamu tidak tahu. (kami utus mereka) dengan tanda-tanda yang jelas dan kitab-kitab kenabian yang samar, dan kami turunkan kepadamu risalh ini supaya kau jelaskan kepada manusia apa yang sudah diturunkan kepada mereka, dan supaya mereka renungkan (QS. an-Nahl, 16:43-44).
Berkenaan dengan prinsip tersebut, Imam asy-Syafi’i, seperti yang dikutip oleh Ibnu Taymiyyah, mengatakan bahwa setiap hukum yang ditetapkan Rasulullah Saw merupakan pemahaman yang otomatis berasal dari Alqur’an.
إِنَّا أَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ لِتَحْكُمَ بَيْنَ النَّاسِ بِمَا أَرَاكَ اللَّهُ وَلَا تَكُنْ لِلْخَائِنِينَ خَصِيمًا
Kami telah menurunkan kepadamu Kitab yang membawa kebenaran agar engkau mengadili manusia sesuai dengan yang diajarkan Allah kepadamu. Dan janganlah engkau menjadi pembela para pengkhianat (QS. an-Nisa 4:105). Rasulullah Saw bersabda: “Ketahuilah bahwa aku diberi Alqur’an dan yang semisalnya (hadis) bersamanya” (HR Abu Dawud).
Jadi, peran rasul terhadap Alquran adalah menjelaskan bagian yang mujmal (global) dan mengkhususkan yang ‘amm (umum), menjelaskan arti dan kaitan kata tertentu dalam Alqur’an; memberi ketentuan tambahan terhadap beberapa peraturan yang telah ada dalam Alqur’an, seperti zakat fitrah; menjelaskan nasakh (penghapusan) ayat; dan menegaskan hukum-hukum yang ada dalm Al-Qur’an.[7]
3.      Menafsirkan Alquran dengan pendapat Sahabat dan Tabi’in
Jika mufassir tidak mendapatkan penafsiran dari Al-quran dan tidak pula dengan Sunnah, seyogyanya ia merujuk kepada pendapat Sahabat (qaul shahabi), terutama yang bersifat sima’i seperti sabab nuzul dan kisah. Sahabat adalah orang yang paling pantas dimintai pendapat karena kelebihan dan keistimewaan darinya daripada generasi-generasi sesudahya karena mereka hidup sezaman dengan Nabi dan secara langsung menyaksikan proses penurun wahyu dan menerima langsung penafsiran Nabi Saw.[8]
Alquran sendiri mengakui kelebihan dan keutamaan sahabat, bahkan tabi’in. Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) diantara orang-orang Muhajirin dan Anshar, serta orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan mereka pun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya. Mereka kekal didalamnya selama-lamanya. Itulah kemenangan yang besar. Sesungguhnya, Allah telah menerima tobat Nabi, orang-orang Muhajirin dan Anshar yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati dari segolongan dari mereka hampir berpaling, kemudian Allah menerima tobat mereka itu. Sesungguhnya, Allah maha Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka (QS at-Taubah, 9: 117). Dalam salah satu hadis, Nabi Muhammad Saw pun pernah melukiskan kelebihan para sahabat.
Tentang penafsiran para sahabat, hampir semua ahli tafsir menyetujui dan sepakat. Tetapi, terkait dengan penafsiran tabi’in dan antara ulama tafsir terjadi perselisihan yag sangat tajam. Jika tentang penafsiran tabi’in saja terjadi perselisihan pendapat, apalagi berpegang dengan pendapat tabi’in at-tabi’in.
2.      Bentuk pemikiran (al-Ra’y)
Setelah berakhir masa salaf sekitar abad ke-3 H dan peradaban Islam semakin maju dan berkembang, maka lahirlah berbagai mazhab dan aliran di kalangan umat. Masing-masing golongan berusaha meyakinkan pengikutnya dalam mengembangkan faham mereka. Untuk mencapai maksud, mereka mencari ayat-ayat Alquran dan hadis-hadis Nabi saw lalu mereka tafsirkan sesuai dengan keyakinan yang mereka anut.
Ketika inilah mulai berkembang tafsir dengan bentuk al-ra’y (tafsir melalui pemikiran atau ijtihad). Kaum fuqaha’ menafsirkan dari sudut hukum fikih seperti al-Jashshash, al-Qurthubi, dan lain-lain; kaum teolog menafsirkannya dari sudut pemahaman teologis seperti al-Kasysyaf karangan al-Zamakhsyari, dan kaum sufi juga menafsirkan Alqur’an menurut pemahaman dan pengalaman batin mereka seperti Tafsir al-Qur’an al-Azhim oleh al-Tustari; Futuhat Makkiyah oleh Ibn ‘Arabi; dan lain-lain.
Tafsir bi al-Ra’y terbagi beberapa bagian : pertama, akal (al-Laun al-Aqli); kedua, ilmu (al-Laun al-Ilmi); ketiga, falsafah (al-Laun al-falsafi); keempat, Intuisi (al-Laun al-Isyari).
       Adapun hadis-hadis yang menyatakan bahwa para ulama salaf lebih suka diam ketimbang menafsirkan Alqur’an, sebagaimana dapat dipahami dari ucapan Abu Bakar yang dikutip di muka, tidak  dapat dijadikan dalil untuk melarang tafsir bi al-ra’y sebab sebagaimana ditulis oleh Ibn Taymiyat: “Mereka senantiasa membicarakan apa-apa yang mereka ketahui dan mereka diam pada hal-hal yang tidak mereka ketahui. Inilah kewajiban setiap orang (lanjutnya), ia harus diam kalau tidak tahu, dan sebaliknya harus menjawab jika ditanya tentang sesuatu yang diketahuinya”. Pendapat Ibn Taymiyat ini ada benarnya Karena didukung oleh Alqur’an antara lain terdapat dalam ayat 187 dari Ali Imran : “………لَتُبَيِّنُنَّهُ لِلنَّاسِ وَلَا تَكْتُمُونَهُ...... (Hendaklah  kamu menerangkan isi kitab itu kepada manusia dan tidak menyembunyikannya) dan di pertegas lagi oleh hadis sahih dari Ibnu ‘Umar :
مَنْ سُئِلَ عَنْ عِلْمٍ فَكَتَمَهُ أُلْجِمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ بِلِجَامٍ مِنْ نَارٍ
(Barang siapa ditanya sesuatu yang diketahuinya, lalu dia diam, maka mulutnya akan di kunci pada hari kiamat dengan kekang dari api neraka).
Jadi diamnya ulama salaf tentang suatu ayat bukan mereka tak mau menafsirkannya dan pula karena dilarang menafsirkannya, melainkan karena kesangathati-hatian mereka supaya tidak masuk ke dalam apa yang disebut takhmim (spekulasi, terkaan) dalam menafsirkan Alqur’an. Apabila ini terjadi, ancamannya amat berat masuk neraka.[9]
Setiap tafsir tradisional, baik yang disebut bi al-ma’tsur maupun bi al-ma’qul, pada dasarnya tidak dapat menghindarkan diri dari nalar. Hal ini karena penafsir bagaimanapun selalu menarik makna dengan pemikiran murni, baru setelah itu beralih pada pemberian justifikasi, baik berdasarkan riwayat (ma’tsur), ataupun argumen pikiran (ma’qul). Penggunaan penalaran semacam ini bukannya tanpa masalah.[10]
 Dalam tafsir bi al-ma’tsur, misalnya meskipun penafsiran didasarkan pada riwayat-riwayat hadis yang sahih, namun maknanya tetaplah hipotetis. Kebenaran riwayat hadis-hadis tidak mempengaruhi kebenaran hipotetis makna-makna yang ditulis mufassir. Sementara itu, tafsir bi al-ma’qul tidak kalah tidak mungkin menjadi positif hanya dengan argumen yang sama hipotetisnya. Hal ini terbukti dengan seringnya dijumpai kontroversi dan pluralitas pemahaman terhadap suatu ayat dan teks. Di samping itu, tafsir tradisional sering kali terjebak pada penafsiran yang bertele-tele, menafsirkan teks secara umum tanpa memperhatikan apakah dibutuhkan penafsiran atau tidak.[11]
C.    Fungsi Hadis Terhadap Alqur’an
Fungsi hadis terhadap Alqur’an secara umum adalah untuk menjelaskan makna kandungan Alqur’an yang sangat dalam dan global atau li al-bayan (menjelaskan). Hanya penjelasan itu kemudian oleh para ulama diperinci ke berbagai bentuk penjelasan. Secara garis besar ada empat makna fungsi penjelasan (bayan) hadis terhadap Alqur’an, yaitu sebagai berikut: 
1.      Bayan Taqrir
Posisi hadis sebagai penguat (taqrir) atau memperkuat keterangan Alqur’an (ta’kid). Sebagian ulama menyebut bayan taqrir atau bayan taqrir. Artinya hadis menjelaskan apa yang sudah dijelaskan Alqur’an, misalnya hadis tenteng shalat, zakat, puasa, dan haji, menjelaskan ayat-ayat Alqur’an tentang hal itu juga :
حديث ابْنِ عُمَرَ رضي الله عنهما قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: بُنِيَ الإِسْلامُ عَلى خَمْسٍ: شَهادَةِ أَنْ لاَ إِلهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ وَإِقامِ الصَّلاةِ وَإِيتاءَ الزَّكاةِ وَالْحَجِّ وَصَوْمِ رَمَضَانَ.
Dari Ibn Umar ra. Berkata : Rasulullah Saw bersabda : Islam didirikan atas lima perkara: menyaksikan bahwa tidak ada Tuhan melainkan Allah dan bahwa Muhammad utusan Allah, mendirikkan shalat, menunaikan zakat,haji dan puasa Ramadhan. (HR Al-Bukhari).

Hadis ini memperkuat keterangan perintah shalat, zakat, dan puasa dalam Alqur’an Surah Al-Baqarah (2): 83 dan 182 dan perintah haji pada Surah Ali Imran (3): 97.

2.      Bayan Tafsir
Hadis sebagai penjelas (tafsir) terhadap Alqur’an dan fungsi inilahyang terbanyak pada umumnya, penjelasan yang diberikan ada 3 macam, yaitu sebagai berikut:

a.      Tafshil Al-Mujmal
Hadis memberi penjelasan secara terperinci pada ayat-ayat Alqur’an yang bersifat global (tafshil al-mujmal= memperinci yang global), baik menyangkut masalah ibadah maupun hukum, sebagian ulama menyebutnya bayan tafshil atau bayan tafsir. Misalnya perintah shalat pada beberapa ayat dalam Alqur’an hanya di terangkan secara global dirikanlah shalat tanpa disertai petunjuk bagaimana pelaksanaannya berapa kali sehari semalam, berapa rakaat, kapan waktunya, rukun-rukunnya, dan lain sebagainya. Perincian itu ada dalam hadis Nabi, misalnya sabda Nabi Saw:
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
Shalatlah kamu sebagaimana engkau melihat aku shalat. (HR. Al-Bukhari).

Hadis di atas menjelaskan bagaimana shalat itu dilaksanakan secara benar sebagaimana firman Allah dalam Alquran. Demikian juga masalah haji dan zakat.
Dalam masalah haji Nabi bersabda :
لِتَأْخُذُوا مَنَاسِكَكُمْ
b.      Takhshish Al-‘Amm

Hadis mengkhususkan ayat-ayat Alquran yang umum, sebagian ulama menyambut bayan takhshish. Misalnya ayat-ayat tentang waris dalam Surah An-Nisa’ (4): 11

يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ
Allah mensyari’atkan bagimu tentang (bagian pusaka) anak-anakmu, yaitu : bagian seoerang anak laki-laki sama dengan bagian dua orang perempuan.

Kandungan di atas menjelaskan pembagian harta pusaka terhadap ahli waris, baik anak laki-laki, anak perempuan, satu dan atau banyak, orangtua (bapak dan ibu) jika ada anak atau tidak ada anak, jika ada saudara atau tidak ada dan seterusnya. Ayat harta warisan ini bersifat umum, kemudian dikhususkan (takhshish) dengan hadis Nabi yang melarang mewarisi harta peninggalan para Nabi, berlainan agama, dan pembunuh.

c.       Taqyid Al-Muthlaq
Hadis membatasi kemutlakan ayat-ayat Alquran. Artinya Alquran keteranganya secara mutlak, kemudian di takhshish dengan hadis yang khusus. Sebagian ulama menyebut bayan taqyid.
Misalnya firman Allah dalam Surah Al-Maidah (5): 38
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا
Pencuri lelaki dan pencuri perempuan, maka potonglah tangan-tangan mereka.

Pemotongan tangan pencuri dalam ayat di atas secara mutlak nama tangan tanpa dijelaskan batas tangan yang harus di potng apakah dari pundak, sikut, dan pergelangan tangan. Kata tangan meliputi hasta dari bahu pundak, lengan dan sampai telapak tangan. Kemudian pembatasan itu baru dijelaskan dengan hadis ketika ada seorang pencuri datang ke hadapan Nabi dan diputuskan hukumn dengan pemotongan tangan, maka dipotong pada pergelangan tangan.
3.      Bayan Naskhi
Hadis penghapus (naskh) hukum yang diterangkan dalam aAlqur’an. Misalnya kewajiban wasiat yang diterangkan dalam Surah Al-Baqarah (2): 180
كُتِبَ عَلَيْكُمْ إِذَا حَضَرَ أَحَدَكُمُ الْمَوْتُ إِنْ تَرَكَ خَيْرًا الْوَصِيَّةُ لِلْوَالِدَيْنِ وَالْأَقْرَبِينَ بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُتَّقِينَ
Diwajibkan atas kamu, apabila seseorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma’ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa.
Ayat di atas di-nasakh dengan hadis Nabi :
إِنَّ اللَّهَ أَعْطَى كُلَّ ذِي حَقٍّ حَقَّهُ، وَلَا وَصِيَّةَ لِوَارِثٍ
Sesungguhnya Allah memberikan hak kepada setiap yang mempunyai hak, dan tidak ada wasiat itu wajib bagi waris. (HR. An-Nasa’i).
4.      Bayan Tasyri’i
Hadis menciptakan hukum syariat (tasyri’i) yang belum dijelaskan oleh Alqur’an. Para ulama berbeda pendapat tentang pungsi Sunnah sebagai dalam pada sesuatu hal yang tidak disebutkan dalam Alqur’an. Mayoritas mereka berpendapat bahwa sunnah sendiri sebagai dalil hukum dan yang lain berpendapat bahwa Sunnah menetapkan dalil yang terkandung atau yang tersirat secara implisit dalam teks Alquran.
Dalam hadis terdapat hukum-hukum yang tidak dijelaskan Alqur’an, ia bukan penjelas dan penguat (ta’kid).Tetapi sunnah sendirilah yang menjelaskan sebagai dalil atau ia menjelaskan yang tersirat dalam ayat-ayat Alquran. Misalnya keharaman jual beli dengan berbagai cabangnya menerangkan yang tersirat dalam surah Al-Baqarah (2) : 275 dan An-Nisa’ (4) : 29
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ إِلَّا أَنْ تَكُونَ تِجَارَةً عَنْ تَرَاضٍ مِنْكُمْ
  Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku suka sama suka diantara kamu (QS. An-Nisa’ (4) : 29).
Semua ulama mengakui adanya hubungan bayan sunnah terhadap Alqur’an, tetapi berbeda dalam istilah yang mereka pergunakan. Misalnya Ahl Ar-Ra’yi berpendapat penjelasan sunnah terhadap Alquran terbagi menjadi 3 hal, yaitu bayan taqrir (memperkuat), bayan tafsir (menjelaskan yang sulit) dan bayan tabdil atau naskh (mengganti atau menghapus). Imam malik membagi ada 5 bagian, yaitu bayan taqrir, bayan tawdhih (bayan tafsir), bayan tafshil (penjelasan terperinci), bayan basthi/bayan ta’wil (keterangan yang panjang lebar), dan bayan tasyri’ (menciptakan hukum). Asy-Syafi’i menetapkan 5 bayan, yaitu bayan tafshil, bayan takhshish (mengkhususkan), bayan ta’yin (menetapkan satu dari dua atau lebih kemungkinan makna), bayan tasyri’I dan bayan nasakh. Sedangkan Imam Ahmad bin Hambal dalam hal ini sepaham dengan Asy-Syafi’i. Imam Ibnu Al-Qayyim dalam kitab A’lam Al-Muwaqqi’in sebagaimana yang dikutip Ash-Shiddieqy menjelaskan pendapat Imam Ahmad ada 4 penjelasan, yaitu bayan ta’kid, bayan tafsir dan bayan tasyri’, dan bayan takhshish serta bayan taqyid (memberikan batasan yang mutlak).[12]



























BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Rasulullah Saw menafsirkan Qs. Al-An’am (6) : 82 dengan Qs. Luqman (31): 13, atau dengan kata lain Rasulullah Saw telah menafsirkan al-Quran dengan al-Quran itu sendiri. Kemudian Rasulullah menafsirkan Qs.Yusuf (12) : 4 dengan wahyu yang dibawa Jibril  kepadanya berkenaan dengan nama-nama bintang yang di tanyakan orang yahudi itu; artinya Rasulullah telah menafsirkan al-Quran dengan wahyu yang hakekatnya secara makna memang dari Allah tetapi memakai bahasa Nabi sendiri.
Pada dasarnya itu termasuk dalam kaidah dasar tafsir yang terdiri dari: pertama, menafsirkan Alquran dengan Alquran; kedua, menafsirkan Alquran dengan as-Sunnah, ketiga,menafsirkan Alquran dengan pendapat sahabat dan tabi’in. tentang penafsiran para sahabat, hampir semua ahli tafsir menyetujui dan bersepakat. Tetapi, terkait denagn penafsiran tabi’in, dan antara ulama tafsir terjadi perselisihan yang sangat tajam. Jika tentang penafsiran tabi’in saja terjadi perselisihan pendapat, apalagi berpegang dengan pendapat tabi’in at-tabi’in.
Bahwa secara garis besar perkembangan tafsir sejak dulu sampai sekarang adalah melalui dua bentuk tersebut, yaitu bi al-ma’tsur (melalui riwayat) dan bi al-ra’y (melalui pemikiran atau ijtihad). Kedua bentuk penafsiran sebagaimana diuraikan menggambar kepada kita bahwa Alquran yang telah menjadi kitab suci umat Islam sejak lebih empat belas abad yang silam dan itu telah dibuktikan oleh sejarah mampu membimbing kehidupan di muka bumi ini sebagaimana dapat diamati dalam kedua bentuk penafsiran yang berkembang tersebut, terutama tafsir bi al-ra’y karena tafsir dalam bentuk ini dapat sejalan degan perkembangan zaman dan merespon berbagai permasalahan yang timbul di tengah masyarakat yang semakin modern dan majemuk.







DAFTAR PUSTAKA

Izzan, Ahmad, Metodologi Ilmu Tafsir, Bandung : Tafakur 2011.
Suryadilagi, Alfatih, Metodologi Ilmu Tafsir, Yogyakarta : Teras 2010.
Goldziher, Ignaz, Mazhab Tafsir Dari Klasik Hingga modern, Yogyakarta : elsaq Press 2006.
Saenong, Ilham, Hermeneutika Pembebasan Metodologi Tafsir Al-Quran Menurut Hassan Hanafi, Jakarta : Teraju 2002.
Khon, Majid, Ulumul Hadis, Jakarta : Amzah 2009.
Baidan, Nashruddin, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, Yogyakarta : Pustaka Pelajar 2011.









[1] Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir Dari Klasik Hingga Modern, (Yogyakarta : eLSAQ Press 2006), hlm. 79.
[2] Ibid, hlm. 84-85.
[3] Alfatih Suryadilaga, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta : Teras 2010), hlm. 27.
[4] Nashruddin Baidan, Wawasan Baru Ilmu Tafsir, (Yogyakarta : Pustaka Pelajar 2011), hlm. 368.
[5] Ibid, hlm. 369.
[6] Ignaz Goldziher, Mazhab Tafsir Dari Klasik Hingga Modern, (Yogyakarta : eLSAQ Press 2006), hlm. 87.
[7] Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung : Tafakur 2011), hlm. 123-125
[8] Id. Hlm 125-126.
[9] Nashruddin,……………………………………..hlm. 378.
[10] Ilham Saenong, Hermeneutika Pembebasan Metodologi Tafsir Al-Quran Menurut Hassan Hanafi, (Jakarta : Teraju  2002), hlm. 144.
[11] Ibid.
[12] Abdul Majid Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta : Amzah 2009), hlm. 16-21.

Komentar