Program Riset Ilmiah Imre Lakatos



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG  
            Ilmu berawal dari keingintahuan manusia atas fenomena yang ada disekitarnya ataupun tentang dirinya sendiri. Pada awalnya hasrat ingin mengetahui itu terhambat oleh berbagai mitos yang berkembang di masyarakat. Mitos berhasil tertanam didalam pikiran manusia, karena keterbatasan pikiran manusia itu sendiri untuk memberikan dan memperoleh penjelasan yang masuk akal. Salah satu misi ilmiah adalah meruntuhkan berbagai mitos melalui penjelasan ilmiah yang dapat memuaskan kedahagaan keingintahuan.
          Tidak dapat disangkal dalam waktu yang cukup panjang, epistomologi positivistik telah mendominasi ilmu pengetahuan dan kajian filsafat ilmu diseluruh kawasan. Meskipun paradigma itu menghasilkan sebuah penemuan baru, akan tetapi menyisakan sejumlah problem. Karena itu, sejak paruh kedua abad 20 telah muncul beberapa pemikir yang mencoba mendobrak mendominasi ini dengan memunculkan filsafat baru. Diantara mereka adalah Karl R. Popper (1902–1994) yang mengembangkan pemikirannya dalam tiga tema besar, yaitu persoalan induksi, persoalan demerkasi, persoalan dunia ketiga. Ia tidak sependapat tentang induksi, dan menyatakan bahwa tidak ada sejumlah contoh-contoh khusus yang menjamin prinsip universal. Demikian juga soal verifikasi sebagaiman mana yang di yakini kelompok Vienna Circle (Lingkaran Wina). Bagi dia falsifikasi adalah batas pemisah (demarkasi) yang tepat antara ilmu dengan yang bukan ilmu.
           Sementara itu Thomas S. Kuhn (1922–1996) tampil dengan gagasan revolusi ilmu pengetahuan yang di ketahui dengan adanya perubahan paradigma. Tidak seperti pandangan sejumlah pemikir sebelumnya, Kuhn menolak pernyataannya bahwa perkembangan ilmu adalah dengan jalur linier-akumulasi dan eliminasi. Menurutnya, ilmuan bukan para penjelajah yang menemukan kebenaran-kebenaran baru, tapi mereka mirip para pemecah teka-teki yang bekerja di dalam pandangan dunia yang sudah mapan. Kuhn memakai istilah “paradigma” untuk menggambarkan sistem keyakinan yang mendasari upaya pemecahan teka-teki dalam ilmu. Berdasarkan bukti-buki sejarah ilmu, Kuhn menyimpulkan faktor historis,yakni non-matematis-positivistik merupakan faktor penting dalam bangunan paradigma keilmuan secara utuh. Karenanya filsafat ilmu Kuhn sering disebut sebagai psychology of discovery, yang dibedakan dengan logic of discovery sebagaimana kaum positivis.
           Pemikiran kedua tokoh tersebut cukup kuat, mewarnai wacana dalam filsafat ilmu, dan masing-masing mempunyai banyak dukungan. Namun di sela-sela itu Imre Lakatos hadir, yang mencoba memanfaatkan dengan menawarkan “metodologi program riset ilmiah” sebagai evaluasi dan kritik atas kekurangan Popper dan terutama pada Kuhn, sekaligus mengembangkan pemikiran keduanya.
B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Bagaimana biografi Imre Lakatos ?
2.       Bagaimana konsep pemikiran Lakatos?
3.      Apa perkembangan ilmu pengetahuan Lakatos?
4.       Apa metodologi program riset Lakatos?
5.      Bagaimana pembacaan kritis atas pemikiran Lakatos?
C.    TUJUAN
1.      Untuk mengetahui bagaimana biografi Imre Lakatos
2.      Untuk mengetahui bagaiman konsep pemikiran Lakatos
3.      Untuk mengetahui perkembangan ilmu pengetahuan
4.      Untuk mengetahui apa program riset Lakatos
5.       Untuk mengetahui pembacaan kritis atas pemikiran Lakatos







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi  Imre Lakatos
         Imre Lakatos lahir di hungaria pada tanggal 9 Nopember 1922. Menyelesaikan studi di University of Debrecen pada bidang matimatika, Fisika, dan filsafat. Karirnya diawali dengan jabatan Menteri Pendidikan, namun pemikirannya dipandang menyebabkan kekacauan politik sehingga pada tahun 1950 dipenjara selama tiga tahun, kemudian beliau menerjemah buku-buku matematika kedalam bahas hungaria.
Karena pada tahun 1956 terjadi revolusi , Imre Lakatos lari ke Wina yang akhirnya sampai ke London. Di London inilah kemudian Imre Lakatos melanjutkan studi di Cambridge University dan memperoleh gelar doktor setelah mempertahankan disertasinya: Proofs and Refutations: The Logic Of Matematical Discovery (karya yang membahas pendekatan terhadap beberapa metodologi matematika sebagai logika penelitian).
Setelah diangkat menjadi pengajar di London School of Economic, dia sering terlibat diskusi dengan Popper, Feyerband, dan Kuhn untuk membantu memantapkan gagasan tentang Metodology of Scientific Research Programmes, sehingga pada tahun 1965, Imre Lakatos mengandakan suatu simposium yang mempertemukan gagasan Kuhn dan Popper.
Pada tahun 1968 Imre Lakatos menerbitkan karyanya yang berjudul: Criticism and The Metodology of Scientific Research Programms, sebagai evaluasi atas prinsip falsifikasi dan upaya perbaikan atas kelemahan dan kekuranganya. Imre Lakatos meninggal pada tanggal 2 Februari 1974 di London sebelum menyelesaikan karyanya yang berjudul: The Changing Logic Of Scientific Discovery sebagai pembaharuan dari karya Popper: The Logic Of Scientific Discovery.[1]
B.     Konsep Pemikiran Imre Lakatos
Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya bahwasanya Imre Lakatos mengambil jalan tengah atas pemikiran Kuhn dan Popper. Lakatos ingin mengembangkan dan mengkritik atas kekurangan dari pemikiran Popper dan menghasilkan metode baru yang selanjutnya disebut Program Riset.
Pemikiran Thomas Kuhn dalam Scientific Revolution nampaknya menimbulkan kegoncangan dalam filsafat ilmu. Ilmu yang dahulu dianggap pasti dengan metodenya sekarang menjadi goyah dengan pemaparan Kuhn yang membawa kepada skeptisisme. Salah satunya adalah Imre Lakatos, Imre Lakatos adalah seorang filsuf Hungaria, yang hidup pada tahun 1922-1974.
  Imre Lakatos lebih tertarik dengan menengahi antara perubahan paradigma Kuhn dan falsifikasi Popper. Ketika falsifikasionisme di perkenalkan sebagai alternatif induktivisme, falsifikasi adalah yaitu kegagalan teori untuk bertahan menghadapi ujian-ujian dengan observasi dan eksperimen, maka hal itu di pandang sebagai prinsip yang penting, bahwa ilmu harus berkembang maju dengan dugaan-dugaan yang berani dan tinggi falsifiabilitasnya sebagai usaha untuk memecahkan problema-problema, lalu di ikuti dengan usaha-usaha yang keras untuk menfalsifikasi asal-usul baru itu.
Seperti pernyataan Popper sendiri :
“Dengan senang hati saya mengakui bahwa falsifikasionis seperti saya sendiri jauh lebih suka berusaha memecahkan persoalan yang menarik dengan melakukan dugaan yang berani, walaupun (yang terutama) apabila tidak lama kemudian ternyata salah, dari pada mengulang suatu rangkaian kebenaran basi yang tidak relevan. Kami lebih suka ini karena kami percaya bahwa begitulah caranya kita dapat belajar dari kesalahan-kesalahan kita, dan setelah mengetahui bahwa dugaan kita salah, kita akan belajar banyak tentang kebenaran dan akan semakin mendekati kebenaran”.
Meskipun alur logika falsifikasi menarik, namun bila di cermati lebih jauh akan muncul kerumitan “semua angsa putih” sudah tentu akan di falsifikasi apabila pada suatu kesempatan dapat di buktikan ada angsa bukan putih. Akan tetapi di balik ilustrasi logika falsifikasi yang sederhana ini, bagi falsikasionisme tersembunyi kesulitan serius yang di timbulkan oleh kompleksnya situasi pengujian di dalam realitas. Teori ilmiah yang realistis akan terdiri dari keterangan universal yang kompleks. Apabila suatu teori sedang di uji dengan eksperimen, maka akan lebih banyak lagi melibatkan keterangan melalui teori yang sedang di uji itu. Teori membutuhkan asumsi pendukung, misalnya hukum-hukum dan teori-teori yang mengusai penggunaan alat-alat yang di pergunakan dalam ujian. Dalam konteks inilah pemikiran Lakatos muncul untuk merespon kerangka pikir Popper sekaligus memperluasnya.[2]
Berbeda dengan Kuhn, Lakatos memberi ruang, bahkan menggarisbawahi perlu adanya koeksistensi beberapa research program alternatif pada waktu yang bersamaan dan dalam suatu domain yang sama pula, sebagai keniscayaan sejarah. Tidak sama pandangannya dengan Kuhn yang berpendapat bahwa paradigma pula adalah suatu yang tidak dapat di ukur, dinilai, sehingga tidak dapat di perbandingkan secara rasional satu dengan yang lainnya, Lakatos dengan tegas menyatakan bahwa kita dapat membandingkan secara obyektif kemajuan-kemajuan relatif yang tercapai oleh tradisi-tradisi riset yang saling berlomba.[3]
Pemikiran Lakatos berkaitan dengan struktur teori. Pemikiran ini berpendapat bahwa dalam sebuah teori terdapat sebuah inti teori yang tidak bisa dibandingkan satu sama lain. Ini disebut dasar dari dasar (Hard core) dari sebuah ilmu, dan ini tidak bisa difalsifikasi. Paradigmanya menggunakan istilah Program penelitan (program research). Pemikiran Lakatos cukup rumit sehingga lebih baik difokuskan untuk memahami bagaimana Lakatos memecahkan problema batas-batas.
C.    Pengembangan Ilmu Pengetahuan
         Pada masa sebelum lakatos, ilmu pengetahun di pandang sebagai akumulasi teori-teori yang berdiri sendri, bagi para penyokong induktivisme, dan falsifiksionisme ilmu pengetahuan hanyalah berupa teori-teori yang berdiri sendiri. Garis demerkasi antara pengetahuan ilmiah dan tidak ilmiah di tentukan oleh variabilitas  (menurut induktivisme ) dan falsifiabilitas (menurut falsifikasionisme) sebuah teori. Bila sebuah teori telah terbuktikan secara empiris, menurut induktivisme, kebenarannya telah abadi; karenanya perkembangan ilmu pengetahuan hanya bias terjadi melalui-melalui observasi-observasi. Sedangkan penyokong falsifikasionisme memandang sebuah teori harus terbuka dan memungkinkan adanya refutasi-refutasi, karenanya pengembangan ilmu pengetahuan dilakukan dengan merontokkan teori yang sudah ada untuk mendapatkan teori yang baru. Oleh sebab itulah maka Popper mengatakan science is revolution in permanence and criticism is the heart of scientific enterprise.[4]
       Pemikiran yang memandang ilmu pengetahuan hanyalah akumulasi teori-teori yang berdiri sendiri mendapat bantahan dengan teori relatifisme Thomas S. Kuhn dan falsifikasionis canggih-nya Imre Lakatos. Menurut Thomas S. Kuhn, Ilmu pengetahuan merupakan serangkaian teori yang kokoh dalam sebuah paradigma. Sedangkan menurut Lakatos, ilmu pengetahuan merupakan serangkaian teori yang kokoh dalam suatu program riset.
     Sebagai sebuah demerkasi, paradigma atau program riset tidak lagi menjadi pembeda ilmiah dan tidak ilmiah, tetapi antara mature science (ilmu yang masak) yang terbentuk oleh program riset yang terencana dan immature science yang terbentuk secara tambal sulam melalui metode trial dan error.
     Dalam versi Kuhn, apabila telah terbentuk ilmu pengetahuan normal, maka perkembngan ilmu pengetahuan terjadi melalui komitmen dan mengharamkan kritik. Akan tetapi apabila terjadi anomali dalam ilmu pengetahuan normal sehingga memunculkan krisis, maka perkembangan ilmu pengetahuan dilakukan melalui revolusi.
      Thomas S. Kuhn, memberikan kemungkinan terjadinya revolusi sebagai sesuatu yang luar biasa dalam perkembangan ilmu pengetahuan, Imre Lakatos tidak mengakui terjadinya revolusi dalam perkembangan ilmu pengetahuan dapat terjadi melalui kontuinitas. Bahkan jika sebuah program riset terfalsifikasi, program tersebut tidak lantas terpuruk, tetapi ia masih memiliki kesempatan untuk bangkit kembali guna meraih kemapanan.[5]
D.    Metodologi Program Riset
Pemikiran Lakatos mendapatkan momentumnya, sejak tahun 1965, di mana ia mengadakan suatu simposium yang mempertemukan gagasan Kuhn dan Popper. “Metodologi Program Riset” ia maksudkan sebagai struktur metodologis yang memberikan bimbingan untuk riset masa depan dengan cara positif dan negatif.
Dalam Program Riset ini terdapat aturan-aturan metodologi yang disebut “Heuristik”. Heuristik menurut kamus filsafat adalah proses, mirip coba-coba (trial and error), untuk menyelesaikan masalah yang menyatakan tidak ada algoritma yang eksis. Heuristik bagi suatu masalah adalah aturan atau metode untuk mendekati sebuah solusi.[6]  Namun heuristik yang dimaksud disini yaitu kerangka kerja konseptual sebagai konsekuensi dari bahasa. Heuristik adalah suatu keharusan untuk melakukan penemuan-penemuan lewat penalaran induktif dan percobaan-percobaan sekaligus menghindarkan kesalahan dalam memecahkan masalah.
Menurut Imre Lakatos terdapat tiga elemen yang masing-masing mempunyai fungsi yang berbeda dan harus diketahui dalam kaitannya dengan Program Riset, yaitu:
1.      Inti Pokok (Hard-core)
        Asumsi dasar yang menjadi ciri dari program riset ilmiah yang melandasinya, yang tidak dapat ditolak atau dimodifikasi. “Inti pokok” ini dilindungi dari ancaman falsifikasi. Dalam aturan metodologis program riset inti pokok disebut sebagai “heuristik negatif” maksudnya inti pokok yang menjadi dasar elemen yang lain karena sifatnya menentukan dari suatu program riset dan sebagai hipotesa-teoritis yang bersifat umum sekaligus sebagai dasar bagi program pengembangan.
2.      Lingkaran Pelindung (Protective-belt)
         Yang terdiri dari hepotesa-hipotesa bantu (auxiliary hypothese) dalam kondisi-kondisi awal. Dalam mengartikulasi hipotesa pendukung, lingkaran pelindung ini harus menahan berbagai serangan, pengujian dan memperoleh penyesuaian, bahkan perubahan dan pengertian, demi mempertahankan hard-core. Dalam aturan metodologis program riset lingkaran pelindung ini disebut “heuristik positif” maksudnya untuk menunjukkan bagaimana “inti pokok” program riset dilengkapi agar dapat menerangkan dan meramalkan fenomena-fenomena yang nyata. Heuristik positif terdiri dari saran atau isyarat tentang bagaimana mengembangkan vaian-varian yang komplek, bagaimana memodifikasi dan meningkatkan lingkaran pelindung yang fleksibel.





3.      Serangkaian Teori (A series theory)
Keterkaitan teori dimana teori yang berikutnya merupakan akibat dari klausal bantu yang ditambah dari teori sebelumnya. Menurut Imre Lakotos, yang harus dinilai sebagai ilmiah atau tidak ilmiah bukanlah teori tunggal, melainkan rangkaian beberapa teori.[7]
Yang terpenting dalam serangkaian teori adalah ditandai oleh kontinuitas yang pasti. Kontinuitas berangkat dari program riset yang murni. Keilmiahan sebuah program riset dinilai dari dua syarat, yaitu: (1)   harus memenuhi derajat koherensi yang mengandung perencanaan yang pasti untuk program riset selanjutnya; (2) harus dapat menghasilkan penemuan fenomena baru.[8]
Tauhid terbagi atas 5 bagian :
1.      Aqidah;
2.      Ibadah;
3.      Akhlak;
4.      Syari’ah; 
5.      Mu’amalah. Semuanya itu disebut sebagai struktur dalam.
Dari kelima bagian itu masing-masing memiliki bagian sebagai berikut :
1.      Keyakinan (Aqidah);
2.      Shalat (Ibadah);
3.      Moral, etika (Akhlak);
4.      Perilaku, normatif (Syari’ah);
5.      Perilaku sehari-hari (Muamalah). Semua bagian itu disebut sebagai struktur permukaan atau struktur luar.
Jadi semuanya di bagi menjadi 3: pertama, tauhid; kedua, struktur dalam; ketiga, struktur luar.  Pertama dan kedua disebut sebagai immature atau tidak berubah (hard core) dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat. Ketiga disebut sebagai mature atau berubah yaitu dalam inti perkembangan. Bagaimana dengan heuristika yaitu metode pemecahan masalah dalam penalaran induksi dan pengumpulan.pengalaman dan percobaan dan beralasan untuk mencapai penyelesaian masalah.
Heuristika terbagi menjadi 2 bagian : pertama, heuristika negatif; kedua, heuristik positif.
Heuristika negatif adalah program terperinci yang menetapkan asumsi-asumsi dasar yang melandasi program itu. Inti pokok (Hard Core) dan inti jangan sampai ditolak atau dimodifikasi atau dilindungi dari ancaman falsifikasi oleh suatu lingkaran pelindung (Protective-belt) berupa hipotesa-hipotesa pendukung induksi awal.
Heuristik positif adalah berupa bimbingab garis besar yang menujukan bagaimana program riset itu dapat dikembangkan. Perkembangan-perkembangan inti memerlukan perlengkapan bagi inti pokok tadi dari asumsi-asumsi tambahan untuk menerangkan fenomena-fenomena yang sudah dikenal lebih dahulu dan meramalkan fenomena baru. Dengan itu program riset bisa progresif atau degeneratif tergantung pada apakah mereka berhasil atau gagal menempuh ke pemahaman fenomena baru.
E.     Pembacaan Kritis Atas Pemikiran Lakatos
Dilihat dari kurun sejarah dinamika ilmu, pemikiran Lakatos lahir tepat pada waktunya, yakni disaat gelombang kekuasaan paradigma positivistic mulai surut berkat diterimanya secara luas pandangan Kuhn dan Popoer. Hanya saja, kekuatan filsafat baru tersebut mengalami gangguan ketika sebagian Kuhnian dan Popperian menelan mentah-mentah kedua prinsip revolusi sains dan falsifikasi. A.F Chalmers telah menulis secara cermat dalam bukunya pada bab 6 dengan sub “ Keterbatasan falsifikasionisme”,[9] yang mana ia mendudukkan Lakatos sebagai pemikir kritis dan dapat di pandang memeliki otoritas.
Secara implisit Lakatos melandaskan bahwa semua teori di lahirkan dalam kondisi “belum mapan”, meskipun beberapa diantaranya adalah lebih baikdari pada lainnya. Relativisme teori-teori, dalam hal ini yang berada pada wilayah “protective-belt” amat ditegaskan Lakatos mengingat seringnya para peneliti terjebak pada apa yang disebut sebagai “justifikasi”. Bagaimanapun, justifikasitidak akan membuat ilmu berkembang, karena para ilmunya hanya menumpuk fakta-fakta yang semuanya sama-sealur. Kecenderungan yang akan muncul sering kali hanya dogmatik dan dan mengulang-ulang pengetahuan yang sudah ada. Metode heuristik yang dikedepankan Lakatos menarik, karena di satu sisi ia mengamankan teori besar yang sudah mapan dan disisi lain mendorong para ilmuwan untuk menemukan teori-teori pendamping yang memiliki basis eksperimental yang meyakinkan. Falsifikasi ia kritik, tetapi kemudian ia mengembangkannya menjadi falsifikasi yang sofistik. Inilah yang kemudian disebut sebagai suatu bentuk metatheory, sekaligus inilah yang menjadi kekuatan pemikirannya.
Sebagai orang yang menekuni kajian filsafat, Lakatos secara eksplisit menyatakan bahwa problema sentral dalam filsafat ilmu adalah problema menetapkan syarat-syarat universal yang diperlukan teori untuk bias diniai sebagai ilmiah. Ia merupakan problem yang bertalian erat dengan problema “rasionalitas ilmu” dan pemecahan problema itu harus membimbing kita untuk menemukan apakah penerimaan suatu teori ilmiah-rasional atau tidak. Dalam pandangan Lakatos, posisi relativis yang menganggap tidak ada standar yang lebih tinggi dari pada standar masyarakat yang bersangkutan, tidak memberikan kita kesempatan untuk mengkritik standar itu.[10]
 Lakatos mengemukakan metodologinya sebagai suatu respons terhadap problema perbedaan rasionalitas dan irrasionalitas, dan terhadap penerangan masalah-masalah relevansi sosial-politik yang vital. Tampak sekali bahwa metodologi Lakatos sebagian besar jawabannya sejak semula berdasarkan pada asumsi-asumsinya dan tanpa argumentasi.[11] Josep Grunfled juga mempunyai kritik senada bahwa metodolgi Lakatos meskipun rasional, tetapi tidak konsisten. Bagaimanapun juga tanpa konsistensi maka ilmu akan berhenti sebagai suatu obyek kajian yang rasional.
Secara pribadi saya berpandangan, kelemahan yang tampak dari program riset Lakatos adalah tidak adanya kerangka operasional yang jelas dalam menghadapi maraknya “protective-belt” atau teori-teori kecil yang saling bertarung. Mengingat suatu ilmu tidak lahir tanpa konteks sosio-historis yang melatarinya, maka suatu ilmu pastilah tidak akan netral secara ontologis dan aksiologis. Hal semacam ini akan dapat melahirkan perang dingin antar kalangan ilmuwan, yang sering tanpa disadari, mereka telah masuk (atau sengaja memasukkan diri?) dalam perangkap scenario agen-agen ekonomi dan kekuasaan.  







BAB III
PENUTUP
          Dengan sturktur program riset itu di harapkan dapat menghasilkan perkembangan ilmu yang rasional. Keberhasilan suatu program riset dilihat dari terjadinya perubahan problem yang progresif. Sebaliknya, suatu program riset di katakan gagal jika hanya menghasilkan prolem yang justru merosot atau degenaratif.
        Dalam pelaksanaanya,metodologi program riset lmiah di telaah dari dua sudut pandang yang satu berhubungan dengan pekerjaaan program riset tunggal itu sendiri, sedangkan yang lain di bandingkan dengan program riset saingannya. Program riset tunggal meliputi perluasan-perluasan dan modifikasi perluasan lingkaran pelindung dengan menambah atau menguraikan berbagai macam hipotesa pendukung. Modifikasi atau penambahan terhadap lingkaran pelindung dari suatu program riset harus dapat di uji secara independen.
     Dengan demikian, dalam metodologi program riset, Lakatos menolak adanya hipotesa-hipotesa yang bersifat ad hoc yang tidak dapat diuji secara independen, dan menolak upaya yang memperkosa “inti pokok” program. Lakatos sepenuhnya mendukung obyektifitas Popper dan menghendaki program riset ilmiah menjadi pandangan obyektif dan mendistorsi refleksi terhadap pemikiran manusia baik yang menciptakan maupun yang memahaminya.








DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin,  Islamic Studies di Perguruan Tinggi pendekatan Integratif-interkonektif, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2012.
Agung Danarta, Metodologi Program riset Ilmiah Imre Lakatos Esensia Vol. 3, No. 2, Juli 2002.
Aziz, Amir, Pemikiran Imre Lakatos (1922-1974) tentang Metodologi Program Riset, ISLAMICA,Vol 1, No 1, September 2006, hlm. 47 https:www.google.comurlsa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=5&ved=0ahUKEwiQ9-WyuLDJAhUNA44KHbPWAx4QFggMAQ&url  di akses tangggal 27 november 2015.
Blackburn, Simon, Kamus Filsafat, Yogyakarta : Pustaka Pelajar 2013.
Chalmers, Apa Itu Yang Dinamakan Ilmu?, terj. Redaksi. Jakarta : Hasta Mitra, 1983
Huda, M. Syamsul “Rasionalisme : Telaah Pemikiran Imre Lakatos”, dalam www.geocities.com/HotSprings/6774/j-40. Di akses pada tanggal 14 Januari 2016
Muslih, Mohammad, Kajian atas  Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta : Belukar 2008








[2] Ahmad Amir Aziz, Pemikiran Imre Lakatos (1922-1974) tentang Metodologi Program Riset, (ISLAMICA,Vol 1, No 1, September 2006, hlm. 47 httpswww.google.comurlsa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=5&ved=0ahUKEwiQ9-WyuLDJAhUNA44KHbPWAx4QFggMAQ&url  di akses tangggal 27 november 2015.
[3] Amin Abdullah, Islamic Studies di Perguruan Tinggi pendekatan Integratif-interkonektif (Yogyakarta : Pustaka Pelajar cet. Ke-3 2012) hlm. 46
[4] Agung Danarta, Metodologi Program riset Ilmiah Imre Lakatos Esensia, Vol. 3, No. 2, Juli 2002. H. 243.
[5] Ibid. h. 244.
[6] Simon Blackburn, Kamus Filsafat (Yogyakarta : Pustaka Pelajar 2013). H. 400.
[7] Mohammad Muslih, Kajian atas  Asumsi Dasar, Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta : Belukar 2008). H. 135-138.
[8] Ibid.
[9] Chalmers, Apa Itu Yang Dinamakan Ilmu?, terj. Redaksi. Jakarta : Hasta Mitra, 1983, hlm. 63-80.
[10] M. Syamsul Huda, “Rasionalisme : Telaah Pemikiran Imre Lakatos”, dalam www.geocities.com/HotSprings/6774/j-40. Di akses pada tanggal 14 Januari 2016.
[11] Chalmers, Op.Cit, hlm. 113.

Komentar

Postingan Populer