Program Riset Ilmiah Imre Lakatos
BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Ilmu berawal dari keingintahuan
manusia atas fenomena yang ada disekitarnya ataupun tentang dirinya sendiri.
Pada awalnya hasrat ingin mengetahui itu terhambat oleh berbagai mitos yang
berkembang di masyarakat. Mitos berhasil tertanam didalam pikiran manusia,
karena keterbatasan pikiran manusia itu sendiri untuk memberikan dan memperoleh
penjelasan yang masuk akal. Salah satu misi ilmiah adalah meruntuhkan berbagai
mitos melalui penjelasan ilmiah yang dapat memuaskan kedahagaan keingintahuan.
Tidak dapat disangkal dalam waktu
yang cukup panjang, epistomologi positivistik telah mendominasi ilmu
pengetahuan dan kajian filsafat ilmu diseluruh kawasan. Meskipun paradigma itu
menghasilkan sebuah penemuan baru, akan tetapi menyisakan sejumlah problem.
Karena itu, sejak paruh kedua abad 20 telah muncul beberapa pemikir yang
mencoba mendobrak mendominasi ini dengan memunculkan filsafat baru. Diantara
mereka adalah Karl R. Popper (1902–1994) yang mengembangkan pemikirannya dalam
tiga tema besar, yaitu persoalan induksi, persoalan demerkasi, persoalan dunia
ketiga. Ia tidak sependapat tentang induksi, dan menyatakan bahwa tidak ada
sejumlah contoh-contoh khusus yang menjamin prinsip universal. Demikian juga
soal verifikasi sebagaiman mana yang di yakini kelompok Vienna Circle
(Lingkaran Wina). Bagi dia falsifikasi adalah batas pemisah (demarkasi) yang
tepat antara ilmu dengan yang bukan ilmu.
Sementara itu Thomas S. Kuhn
(1922–1996) tampil dengan gagasan revolusi ilmu pengetahuan yang di ketahui
dengan adanya perubahan paradigma. Tidak seperti pandangan sejumlah pemikir
sebelumnya, Kuhn menolak pernyataannya bahwa perkembangan ilmu adalah dengan
jalur linier-akumulasi dan eliminasi. Menurutnya, ilmuan bukan para penjelajah
yang menemukan kebenaran-kebenaran baru, tapi mereka mirip para pemecah
teka-teki yang bekerja di dalam pandangan dunia yang sudah mapan. Kuhn memakai
istilah “paradigma” untuk menggambarkan sistem keyakinan yang mendasari upaya
pemecahan teka-teki dalam ilmu. Berdasarkan bukti-buki sejarah ilmu, Kuhn
menyimpulkan faktor historis,yakni non-matematis-positivistik merupakan faktor
penting dalam bangunan paradigma keilmuan secara utuh. Karenanya filsafat ilmu
Kuhn sering disebut sebagai psychology of discovery, yang dibedakan
dengan logic of discovery sebagaimana kaum positivis.
Pemikiran kedua tokoh tersebut cukup
kuat, mewarnai wacana dalam filsafat ilmu, dan masing-masing mempunyai banyak
dukungan. Namun di sela-sela itu Imre Lakatos hadir, yang mencoba memanfaatkan
dengan menawarkan “metodologi program riset ilmiah” sebagai evaluasi dan kritik
atas kekurangan Popper dan terutama pada Kuhn, sekaligus mengembangkan
pemikiran keduanya.
B.
RUMUSAN MASALAH
1.
Bagaimana biografi Imre Lakatos ?
2.
Bagaimana konsep pemikiran Lakatos?
3.
Apa perkembangan ilmu pengetahuan Lakatos?
4.
Apa metodologi program riset Lakatos?
5.
Bagaimana
pembacaan kritis atas pemikiran Lakatos?
C.
TUJUAN
1.
Untuk mengetahui bagaimana biografi
Imre Lakatos
2.
Untuk mengetahui bagaiman konsep
pemikiran Lakatos
3.
Untuk mengetahui perkembangan ilmu
pengetahuan
4.
Untuk mengetahui apa program riset
Lakatos
5.
Untuk mengetahui pembacaan kritis atas pemikiran
Lakatos
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi Imre Lakatos
Imre Lakatos lahir di hungaria pada tanggal 9 Nopember 1922.
Menyelesaikan studi di University of Debrecen pada bidang matimatika,
Fisika, dan filsafat. Karirnya diawali dengan jabatan Menteri Pendidikan, namun
pemikirannya dipandang menyebabkan kekacauan politik sehingga pada tahun 1950
dipenjara selama tiga tahun, kemudian beliau menerjemah buku-buku matematika
kedalam bahas hungaria.
Karena pada tahun 1956 terjadi revolusi , Imre Lakatos lari
ke Wina yang akhirnya sampai ke London. Di London inilah kemudian Imre Lakatos
melanjutkan studi di Cambridge University dan memperoleh gelar doktor setelah
mempertahankan disertasinya: Proofs and Refutations: The Logic Of
Matematical Discovery (karya yang membahas pendekatan terhadap beberapa
metodologi matematika sebagai logika penelitian).
Setelah diangkat menjadi pengajar di London School of
Economic, dia sering terlibat diskusi dengan Popper, Feyerband, dan Kuhn
untuk membantu memantapkan gagasan tentang Metodology of Scientific Research
Programmes, sehingga pada tahun 1965, Imre Lakatos mengandakan suatu
simposium yang mempertemukan gagasan Kuhn dan Popper.
Pada tahun 1968 Imre Lakatos menerbitkan karyanya yang
berjudul: Criticism and The Metodology of Scientific Research Programms, sebagai
evaluasi atas prinsip falsifikasi dan upaya perbaikan atas kelemahan dan
kekuranganya. Imre Lakatos meninggal pada tanggal 2 Februari 1974 di London
sebelum menyelesaikan karyanya yang berjudul: The Changing Logic Of
Scientific Discovery sebagai pembaharuan dari karya Popper: The Logic Of
Scientific Discovery.[1]
B.
Konsep
Pemikiran Imre Lakatos
Sebagaimana yang telah disinggung sebelumnya bahwasanya Imre
Lakatos mengambil jalan tengah atas pemikiran Kuhn dan Popper. Lakatos ingin
mengembangkan dan mengkritik atas kekurangan dari pemikiran Popper dan
menghasilkan metode baru yang selanjutnya disebut Program Riset.
Pemikiran Thomas Kuhn dalam Scientific Revolution
nampaknya menimbulkan kegoncangan dalam filsafat ilmu. Ilmu yang dahulu
dianggap pasti dengan metodenya sekarang menjadi goyah dengan pemaparan Kuhn
yang membawa kepada skeptisisme. Salah satunya adalah Imre Lakatos, Imre
Lakatos adalah seorang filsuf Hungaria, yang hidup pada tahun 1922-1974.
Imre Lakatos lebih
tertarik dengan menengahi antara perubahan paradigma Kuhn dan falsifikasi
Popper. Ketika falsifikasionisme di perkenalkan sebagai alternatif
induktivisme, falsifikasi adalah yaitu kegagalan teori untuk bertahan
menghadapi ujian-ujian dengan observasi dan eksperimen, maka hal itu di pandang
sebagai prinsip yang penting, bahwa ilmu harus berkembang maju dengan
dugaan-dugaan yang berani dan tinggi falsifiabilitasnya sebagai usaha untuk
memecahkan problema-problema, lalu di ikuti dengan usaha-usaha yang keras untuk
menfalsifikasi asal-usul baru itu.
Seperti pernyataan Popper sendiri :
“Dengan senang hati saya mengakui bahwa falsifikasionis
seperti saya sendiri jauh lebih suka berusaha memecahkan persoalan yang menarik
dengan melakukan dugaan yang berani, walaupun (yang terutama) apabila tidak
lama kemudian ternyata salah, dari pada mengulang suatu rangkaian kebenaran
basi yang tidak relevan. Kami lebih suka ini karena kami percaya bahwa
begitulah caranya kita dapat belajar dari kesalahan-kesalahan kita, dan setelah
mengetahui bahwa dugaan kita salah, kita akan belajar banyak tentang kebenaran
dan akan semakin mendekati kebenaran”.
Meskipun alur logika falsifikasi
menarik, namun bila di cermati lebih jauh akan muncul kerumitan “semua angsa
putih” sudah tentu akan di falsifikasi apabila pada suatu kesempatan dapat di
buktikan ada angsa bukan putih. Akan tetapi di balik ilustrasi logika
falsifikasi yang sederhana ini, bagi falsikasionisme tersembunyi kesulitan
serius yang di timbulkan oleh kompleksnya situasi pengujian di dalam realitas. Teori ilmiah yang realistis akan
terdiri dari keterangan universal yang kompleks. Apabila suatu teori sedang di
uji dengan eksperimen, maka akan lebih banyak lagi melibatkan keterangan
melalui teori yang sedang di uji itu. Teori membutuhkan asumsi pendukung, misalnya
hukum-hukum dan teori-teori yang mengusai penggunaan alat-alat yang di
pergunakan dalam ujian. Dalam konteks inilah pemikiran Lakatos muncul untuk
merespon kerangka pikir Popper sekaligus memperluasnya.[2]
Berbeda dengan Kuhn, Lakatos memberi ruang, bahkan
menggarisbawahi perlu adanya koeksistensi beberapa research program
alternatif pada waktu yang bersamaan dan dalam suatu domain yang sama pula,
sebagai keniscayaan sejarah. Tidak sama pandangannya dengan Kuhn yang
berpendapat bahwa paradigma pula adalah suatu yang tidak dapat di ukur,
dinilai, sehingga tidak dapat di perbandingkan secara rasional satu dengan yang
lainnya, Lakatos dengan tegas menyatakan bahwa kita dapat membandingkan secara
obyektif kemajuan-kemajuan relatif yang tercapai oleh tradisi-tradisi riset
yang saling berlomba.[3]
Pemikiran Lakatos berkaitan dengan struktur teori. Pemikiran
ini berpendapat bahwa dalam sebuah teori terdapat sebuah inti teori yang tidak
bisa dibandingkan satu sama lain. Ini disebut dasar dari dasar (Hard core) dari
sebuah ilmu, dan ini tidak bisa difalsifikasi. Paradigmanya menggunakan istilah
Program penelitan (program research). Pemikiran Lakatos cukup rumit
sehingga lebih baik difokuskan untuk memahami bagaimana Lakatos memecahkan
problema batas-batas.
C.
Pengembangan
Ilmu Pengetahuan
Pada masa sebelum lakatos, ilmu pengetahun di pandang sebagai
akumulasi teori-teori yang berdiri sendri, bagi para penyokong induktivisme,
dan falsifiksionisme ilmu pengetahuan hanyalah berupa teori-teori yang berdiri
sendiri. Garis demerkasi antara pengetahuan ilmiah dan tidak ilmiah di tentukan
oleh variabilitas (menurut induktivisme )
dan falsifiabilitas (menurut falsifikasionisme) sebuah teori. Bila sebuah teori
telah terbuktikan secara empiris, menurut induktivisme, kebenarannya telah
abadi; karenanya perkembangan ilmu pengetahuan hanya bias terjadi melalui-melalui
observasi-observasi. Sedangkan penyokong falsifikasionisme memandang sebuah
teori harus terbuka dan memungkinkan adanya refutasi-refutasi, karenanya
pengembangan ilmu pengetahuan dilakukan dengan merontokkan teori yang sudah ada
untuk mendapatkan teori yang baru. Oleh sebab itulah maka Popper mengatakan science
is revolution in permanence and criticism is the heart of scientific
enterprise.[4]
Pemikiran yang
memandang ilmu pengetahuan hanyalah akumulasi teori-teori yang berdiri sendiri
mendapat bantahan dengan teori relatifisme Thomas S. Kuhn dan falsifikasionis
canggih-nya Imre Lakatos. Menurut Thomas S. Kuhn, Ilmu pengetahuan merupakan
serangkaian teori yang kokoh dalam sebuah paradigma. Sedangkan menurut Lakatos,
ilmu pengetahuan merupakan serangkaian teori yang kokoh dalam suatu program
riset.
Sebagai sebuah
demerkasi, paradigma atau program riset tidak lagi menjadi pembeda ilmiah dan
tidak ilmiah, tetapi antara mature science (ilmu yang masak) yang terbentuk
oleh program riset yang terencana dan immature science yang terbentuk
secara tambal sulam melalui metode trial dan error.
Dalam versi Kuhn,
apabila telah terbentuk ilmu pengetahuan normal, maka perkembngan ilmu
pengetahuan terjadi melalui komitmen dan mengharamkan kritik. Akan tetapi
apabila terjadi anomali dalam ilmu pengetahuan normal sehingga memunculkan
krisis, maka perkembangan ilmu pengetahuan dilakukan melalui revolusi.
Thomas S. Kuhn, memberikan kemungkinan
terjadinya revolusi sebagai sesuatu yang luar biasa dalam perkembangan ilmu pengetahuan,
Imre Lakatos tidak mengakui terjadinya revolusi dalam perkembangan ilmu
pengetahuan dapat terjadi melalui kontuinitas. Bahkan jika sebuah program riset
terfalsifikasi, program tersebut tidak lantas terpuruk, tetapi ia masih
memiliki kesempatan untuk bangkit kembali guna meraih kemapanan.[5]
D.
Metodologi
Program Riset
Pemikiran Lakatos mendapatkan momentumnya, sejak tahun 1965,
di mana ia mengadakan suatu simposium yang mempertemukan gagasan Kuhn dan
Popper. “Metodologi Program Riset” ia maksudkan sebagai struktur metodologis
yang memberikan bimbingan untuk riset masa depan dengan cara positif dan
negatif.
Dalam Program Riset ini terdapat aturan-aturan metodologi
yang disebut “Heuristik”. Heuristik menurut kamus filsafat adalah
proses, mirip coba-coba (trial and error), untuk menyelesaikan masalah
yang menyatakan tidak ada algoritma yang eksis. Heuristik bagi suatu masalah
adalah aturan atau metode untuk mendekati sebuah solusi.[6]
Namun heuristik yang dimaksud
disini yaitu kerangka kerja konseptual sebagai konsekuensi dari bahasa. Heuristik
adalah suatu keharusan untuk melakukan penemuan-penemuan lewat penalaran
induktif dan percobaan-percobaan sekaligus menghindarkan kesalahan dalam
memecahkan masalah.
Menurut Imre Lakatos terdapat tiga elemen yang masing-masing
mempunyai fungsi yang berbeda dan harus diketahui dalam kaitannya dengan
Program Riset, yaitu:
1. Inti Pokok (Hard-core)
Asumsi dasar yang menjadi ciri dari program
riset ilmiah yang melandasinya, yang tidak dapat ditolak atau dimodifikasi.
“Inti pokok” ini dilindungi dari ancaman falsifikasi. Dalam aturan metodologis
program riset inti pokok disebut sebagai “heuristik negatif” maksudnya inti pokok
yang menjadi dasar elemen yang lain karena sifatnya menentukan dari suatu
program riset dan sebagai hipotesa-teoritis yang bersifat umum sekaligus
sebagai dasar bagi program pengembangan.
2. Lingkaran Pelindung
(Protective-belt)
Yang terdiri dari hepotesa-hipotesa
bantu (auxiliary hypothese) dalam kondisi-kondisi awal. Dalam mengartikulasi
hipotesa pendukung, lingkaran pelindung ini harus menahan berbagai serangan,
pengujian dan memperoleh penyesuaian, bahkan perubahan dan pengertian, demi
mempertahankan hard-core. Dalam aturan metodologis program riset lingkaran
pelindung ini disebut “heuristik positif” maksudnya untuk menunjukkan
bagaimana “inti pokok” program riset dilengkapi agar dapat menerangkan dan
meramalkan fenomena-fenomena yang nyata. Heuristik positif terdiri dari saran
atau isyarat tentang bagaimana mengembangkan vaian-varian yang komplek,
bagaimana memodifikasi dan meningkatkan lingkaran pelindung yang fleksibel.
3. Serangkaian Teori (A series theory)
Keterkaitan teori dimana teori yang berikutnya merupakan
akibat dari klausal bantu yang ditambah dari teori sebelumnya. Menurut Imre
Lakotos, yang harus dinilai sebagai ilmiah atau tidak ilmiah bukanlah teori
tunggal, melainkan rangkaian beberapa teori.[7]
Yang terpenting dalam serangkaian teori adalah ditandai oleh
kontinuitas yang pasti. Kontinuitas berangkat dari program riset yang murni.
Keilmiahan sebuah program riset dinilai dari dua syarat, yaitu: (1) harus memenuhi derajat koherensi
yang mengandung perencanaan yang pasti untuk program riset selanjutnya; (2) harus
dapat menghasilkan penemuan fenomena baru.[8]
Tauhid terbagi atas 5 bagian :
1. Aqidah;
2. Ibadah;
3. Akhlak;
4. Syari’ah;
5. Mu’amalah. Semuanya itu disebut
sebagai struktur dalam.
Dari
kelima bagian itu masing-masing memiliki bagian sebagai berikut :
1.
Keyakinan
(Aqidah);
2.
Shalat
(Ibadah);
3.
Moral,
etika (Akhlak);
4.
Perilaku,
normatif (Syari’ah);
5.
Perilaku
sehari-hari (Muamalah). Semua bagian itu disebut sebagai struktur permukaan
atau struktur luar.
Jadi semuanya di bagi menjadi 3: pertama, tauhid; kedua,
struktur dalam; ketiga, struktur luar.
Pertama dan kedua disebut sebagai immature atau tidak berubah (hard
core) dari waktu ke waktu, dari tempat ke tempat. Ketiga disebut sebagai mature
atau berubah yaitu dalam inti perkembangan. Bagaimana dengan heuristika yaitu
metode pemecahan masalah dalam penalaran induksi dan pengumpulan.pengalaman dan
percobaan dan beralasan untuk mencapai penyelesaian masalah.
Heuristika terbagi menjadi 2 bagian : pertama,
heuristika negatif; kedua, heuristik positif.
Heuristika negatif adalah program terperinci yang menetapkan
asumsi-asumsi dasar yang melandasi program itu. Inti pokok (Hard Core) dan inti
jangan sampai ditolak atau dimodifikasi atau dilindungi dari ancaman
falsifikasi oleh suatu lingkaran pelindung (Protective-belt) berupa
hipotesa-hipotesa pendukung induksi awal.
Heuristik positif adalah berupa bimbingab garis besar yang
menujukan bagaimana program riset itu dapat dikembangkan.
Perkembangan-perkembangan inti memerlukan perlengkapan bagi inti pokok tadi
dari asumsi-asumsi tambahan untuk menerangkan fenomena-fenomena yang sudah
dikenal lebih dahulu dan meramalkan fenomena baru. Dengan itu program riset
bisa progresif atau degeneratif tergantung pada apakah mereka berhasil atau
gagal menempuh ke pemahaman fenomena baru.
E.
Pembacaan
Kritis Atas Pemikiran Lakatos
Dilihat dari kurun sejarah dinamika ilmu, pemikiran Lakatos
lahir tepat pada waktunya, yakni disaat gelombang kekuasaan paradigma
positivistic mulai surut berkat diterimanya secara luas pandangan Kuhn dan
Popoer. Hanya saja, kekuatan filsafat baru tersebut mengalami gangguan ketika
sebagian Kuhnian dan Popperian menelan mentah-mentah kedua prinsip revolusi
sains dan falsifikasi. A.F Chalmers telah menulis secara cermat dalam bukunya
pada bab 6 dengan sub “ Keterbatasan falsifikasionisme”,[9]
yang mana ia mendudukkan Lakatos sebagai pemikir kritis dan dapat di pandang
memeliki otoritas.
Secara implisit Lakatos melandaskan bahwa semua teori di
lahirkan dalam kondisi “belum mapan”, meskipun beberapa diantaranya adalah
lebih baikdari pada lainnya. Relativisme teori-teori, dalam hal ini yang berada
pada wilayah “protective-belt” amat ditegaskan Lakatos mengingat seringnya para
peneliti terjebak pada apa yang disebut sebagai “justifikasi”. Bagaimanapun,
justifikasitidak akan membuat ilmu berkembang, karena para ilmunya hanya
menumpuk fakta-fakta yang semuanya sama-sealur. Kecenderungan yang akan muncul
sering kali hanya dogmatik dan dan mengulang-ulang pengetahuan yang sudah ada.
Metode heuristik yang dikedepankan Lakatos menarik, karena di satu sisi ia
mengamankan teori besar yang sudah mapan dan disisi lain mendorong para ilmuwan
untuk menemukan teori-teori pendamping yang memiliki basis eksperimental yang
meyakinkan. Falsifikasi ia kritik, tetapi kemudian ia mengembangkannya menjadi
falsifikasi yang sofistik. Inilah yang kemudian disebut sebagai suatu bentuk metatheory,
sekaligus inilah yang menjadi kekuatan pemikirannya.
Sebagai orang yang menekuni kajian filsafat, Lakatos secara
eksplisit menyatakan bahwa problema sentral dalam filsafat ilmu adalah problema
menetapkan syarat-syarat universal yang diperlukan teori untuk bias diniai
sebagai ilmiah. Ia merupakan problem yang bertalian erat dengan problema
“rasionalitas ilmu” dan pemecahan problema itu harus membimbing kita untuk
menemukan apakah penerimaan suatu teori ilmiah-rasional atau tidak. Dalam
pandangan Lakatos, posisi relativis yang menganggap tidak ada standar yang
lebih tinggi dari pada standar masyarakat yang bersangkutan, tidak memberikan
kita kesempatan untuk mengkritik standar itu.[10]
Lakatos mengemukakan
metodologinya sebagai suatu respons terhadap problema perbedaan rasionalitas
dan irrasionalitas, dan terhadap penerangan masalah-masalah relevansi
sosial-politik yang vital. Tampak sekali bahwa metodologi Lakatos sebagian
besar jawabannya sejak semula berdasarkan pada asumsi-asumsinya dan tanpa
argumentasi.[11]
Josep Grunfled juga mempunyai kritik senada bahwa metodolgi Lakatos
meskipun rasional, tetapi tidak konsisten. Bagaimanapun juga tanpa konsistensi
maka ilmu akan berhenti sebagai suatu obyek kajian yang rasional.
Secara pribadi saya berpandangan, kelemahan yang tampak dari
program riset Lakatos adalah tidak adanya kerangka operasional yang jelas dalam
menghadapi maraknya “protective-belt” atau teori-teori kecil yang saling
bertarung. Mengingat suatu ilmu tidak lahir tanpa konteks sosio-historis yang
melatarinya, maka suatu ilmu pastilah tidak akan netral secara ontologis dan
aksiologis. Hal semacam ini akan dapat melahirkan perang dingin antar kalangan ilmuwan,
yang sering tanpa disadari, mereka telah masuk (atau sengaja memasukkan diri?)
dalam perangkap scenario agen-agen ekonomi dan kekuasaan.
BAB III
PENUTUP
Dengan sturktur
program riset itu di harapkan dapat menghasilkan perkembangan ilmu yang
rasional. Keberhasilan suatu program riset dilihat dari terjadinya perubahan
problem yang progresif. Sebaliknya, suatu program riset di katakan gagal jika
hanya menghasilkan prolem yang justru merosot atau degenaratif.
Dalam pelaksanaanya,metodologi program
riset lmiah di telaah dari dua sudut pandang yang satu berhubungan dengan
pekerjaaan program riset tunggal itu sendiri, sedangkan yang lain di bandingkan
dengan program riset saingannya. Program riset tunggal meliputi
perluasan-perluasan dan modifikasi perluasan lingkaran pelindung dengan
menambah atau menguraikan berbagai macam hipotesa pendukung. Modifikasi atau
penambahan terhadap lingkaran pelindung dari suatu program riset harus dapat di
uji secara independen.
Dengan demikian, dalam
metodologi program riset, Lakatos menolak adanya hipotesa-hipotesa yang
bersifat ad hoc yang tidak dapat diuji secara independen, dan menolak
upaya yang memperkosa “inti pokok” program. Lakatos sepenuhnya mendukung
obyektifitas Popper dan menghendaki program riset ilmiah menjadi pandangan
obyektif dan mendistorsi refleksi terhadap pemikiran manusia baik yang
menciptakan maupun yang memahaminya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, M. Amin, Islamic Studies di Perguruan Tinggi
pendekatan Integratif-interkonektif, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2012.
Agung Danarta, Metodologi Program
riset Ilmiah Imre Lakatos Esensia Vol. 3, No. 2, Juli 2002.
Aziz, Amir, Pemikiran Imre
Lakatos (1922-1974) tentang Metodologi Program Riset, ISLAMICA,Vol 1, No 1,
September 2006, hlm. 47 https:www.google.comurlsa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=5&ved=0ahUKEwiQ9-WyuLDJAhUNA44KHbPWAx4QFggMAQ&url di akses tangggal 27 november 2015.
Blackburn,
Simon, Kamus Filsafat, Yogyakarta : Pustaka Pelajar 2013.
Chalmers, Apa Itu Yang Dinamakan
Ilmu?, terj. Redaksi. Jakarta : Hasta Mitra, 1983
http://pendidikan-pemikiran.blogspot.co.id/2012/01/normal-0-false-false-false-in-x-none-ar.html di akses tgl
26 November 2015
Huda, M. Syamsul “Rasionalisme :
Telaah Pemikiran Imre Lakatos”, dalam www.geocities.com/HotSprings/6774/j-40. Di
akses pada tanggal 14 Januari 2016
Muslih, Mohammad, Kajian
atas Asumsi Dasar, Paradigma dan
Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta : Belukar 2008
[1] http://pendidikan-pemikiran.blogspot.co.id/2012/01/normal-0-false-false-false-in-x-none-ar.html di akses tgl 26
November 2015
[2] Ahmad Amir
Aziz, Pemikiran Imre Lakatos (1922-1974) tentang Metodologi Program Riset,
(ISLAMICA,Vol 1, No 1, September 2006, hlm. 47 httpswww.google.comurlsa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=5&ved=0ahUKEwiQ9-WyuLDJAhUNA44KHbPWAx4QFggMAQ&url di akses tangggal 27 november 2015.
[3] Amin Abdullah, Islamic
Studies di Perguruan Tinggi pendekatan Integratif-interkonektif (Yogyakarta
: Pustaka Pelajar cet. Ke-3 2012) hlm. 46
[4]
Agung Danarta, Metodologi
Program riset Ilmiah Imre Lakatos Esensia, Vol. 3, No. 2, Juli 2002. H.
243.
[7] Mohammad
Muslih, Kajian atas Asumsi Dasar,
Paradigma dan Kerangka Teori Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta : Belukar 2008).
H. 135-138.
[9]
Chalmers,
Apa Itu Yang Dinamakan Ilmu?, terj. Redaksi. Jakarta : Hasta Mitra, 1983,
hlm. 63-80.
[10] M. Syamsul
Huda, “Rasionalisme : Telaah Pemikiran Imre Lakatos”, dalam www.geocities.com/HotSprings/6774/j-40. Di akses pada
tanggal 14 Januari 2016.
[11]
Chalmers,
Op.Cit, hlm. 113.
Komentar
Posting Komentar