Biografi Wahid Hasyim



BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Kepemimpinan adalah masalah yang amat penting dan menentukan jalannya organisasi. Kinerja organisasi apa pun, dari yang amat kecil (keluarga), kesebelesan sepakbola, perusahaan, sampai amat yang besar (negara), amat tergantung pada mutu kepemimpinan dari sang pemimpin. Saat ini amat relevan bagi kita untuk membahas  masalah kepemimpinan, bersamaan munculnya banyak suara yang mengkritisi kepemimpinan Ahok yang kurang terasa kehadirannya.
Pada saat Wahid Hasyim tumbuh untuk kemudian menjadi salah seorang pemimpin nasional dan salah seorang tokoh tokoh utama umat islam, belum ada buku dan kursus atau pelatihan tentang kepemimpinan. Tetapi Wahid Hasyim berhasil menunjukkan kinerja yang luar biasa. Bahkan untuk kalangan Nahdlatul Ulama (NU) tidak banyak tandinganya. Walaupun Wahid Hasyim wafat di usia muda, jejak langkah kepemimpinannya layak untuk dikaji.
Dalam realita, banyak pemimpin kaum tradisionalis (NU) mempunyai pandangan yang luas dan adaptif, terhadap inovasi sebagaimana koleganya, baik itu dari kaum sekuler  maupun kaum modernis. Salah satunya KH. Wahid Hasyim. Sebagai pemimpin organisasi tradisionalis (NU),  salah seorang penandatangan Piagam Jakarta, dan Menteri Agama (1949-1951), ia mempunyai peran sangat besar dalam reformasi pendidikan Islam di Indonesia.
Keterbukaan Wahid Hasyim terhadap segala hal baru dan pemikirannya yang cukup maju dapat dilihat ketika ia mengusulkan perubahan kurikulum di pondok pesantren. Ide yang di tawarkan adalah memasukkan ilmu pengetahuan ‘sekuler’ dalam kurikulum pesantren. Hal ini dimaksudkan agar santri tidak hanya mengusai ilmu agama, tetapi juga mengusai ilmu-ilmu pengetahuan modern Barat. Dengan dikuasainya kedua ilmu tersebut, santri, dalam pandangan Wahid Hasyim, akan menjadi manusia sempurna.

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan asalah sebagai berikut:
1.         Bagaimana Sketsa Biografi Wahid Hasyim?
2.         Bagaimana Pemikiran Pendidikan Wahid Hasyim?
3.         Bagaimana Implikasi Pemikiran Wahid Hasyim Di era Modern?
C.  Tujuan
1.      Untuk mengetahui Sketsa Biografi Wahid Hasyim
2.      Untuk mengetahui pemikiran pendidikan Wahid Hasyim
3.      Untuk mengetahui Implikasi Pemikiran Wahid Hasyim
       


BAB II
PEMBAHASAN

1.      Biografi Wahid Hasyim
Wahid Hasyim adalah putra ulama besar negeri ini, yakni Hasyim Asy’ari. Ia adalah ayah dari Mantan Presiden Republik Indonesia yang ke empat, alm. Gus Dur. Di usianya yang sangat belia, Wahid Hasyim telah menjadi Menteri Departemen Agama. Wahid Hasyim terlahir dengan nama lengkap Abdul Wahid Hasyim, ia terlahir tanggal 1 Juni 1914. Ayahnya adalah Hasyim Asy’ari, seorang ulama besar pendiri organisasi Nahdlatul Ulama di negeri ini. Ia merupakan anak kelima dari sepuluh bersaudara. Ibunya bernama Nafiqah binti Kiai Ilyas. Semula Ayahnya memberi nama Muhammad Asy’ari tetapi akhirnya dinamai Abdul Wahid yang di ambil dari nama kakeknya. Akan tetapi, ketika menginjak dewasa, ia lebih suka menulis namanya dengan cara menambahkan nama ayahnya di belakang namanya sendiri sehingga menjadi Wahid Hasyim. Dan kemudian ia lebih di kenal dengan Wahid Hasyim, dan  ibunya sendiri memanggilnya Mudin. [1]
Wahid Hasyim belajar kepada ayahnya sendiri dilingkungan Pesantren Tebuireng. Ia tergolong anak yang sangat cerdas. Sejak usia 5 tahun, ia sudah bisa membaca Al-Qur’an yang langsung mendapat bimbingan dari ayahnya. Dua tahun setelah bisa membaca Al-Quran, ia berhasil menghatamkanya di usiannya yang baru tujuh tahun. Di umur tujuh tahun selain khatam Al-Qur’an Wahid Hasyim juga sudah mulai belajar kitab. Di antaranya adalah Kitab Fathul Qarib, Minhajul Qawim dan kitab Mutammimah. Ketika usianya lepas 12 tahun ia pergi nyantri ke berbagai pesantren pulau Jawa. Diantaranya adalah Pesantren Siwalan, Panji Sidoarjo, dan juga di Pesantren Lirboyo. Tetapi ia hanya berada tiga hari di Pesantren Lirboyo, setelah itu ia nyantri dari Pesantren satu ke pesantren lainnya.[2]
Masa berkelana dari pesantren ke pesantren di luar Tebuireng, hanya di lakoni wahid Hasyim sekitar 3 tahun. Di Usiannya 15 tahun, ia mempelajari bahasa-bahasa dunia, tidak hanya bahasa Arab, ia juga mempelajari bahasa Belanda, Jerman, dan Inggris. Tiga tahun setelahnya ia dan sepupunya Muhammad Ilyas pergi ketanah suci tidak hanya sekadar menunaikan ibadah haji, mereka juga mendalami ilmu Tafsir, Hadist, Nahwu, Shorof dan juga Fikih. Setelah berada dua tahun di tanah suci, mereka berdua pulang ke tanah air dan Hasyim langsung membantu ayahnya mengajar di Pesantren Tebuireng.[3]
Sepulang dari makkah, Wahid Hasyim kemudian menikah dengan gadis cantik bernama Solehah putri kiai Bisri Syansuri, pendiri Pesantren Denayar Jombang. Dari pernikahannya dengan Solehah ia di karuniai enam anak, yakni Abdurrahman ad-Dakhil (Gus Dur), Aisyah, Salahuddin al-Ayyubi, Umar Wahid, Lily Wahid, dan Hasyim Wahid atau Gus Lim. Ketika umur Wahid Hasyim menginjak 20 tahun, ia aktif dalam organisasi, ia sudah menghabiskan waktunya aktif di NU. Wahid Hasyim memulai karirnya di NU dari bawah, dari mulai ranting Tebuireng sampai kemudian menjadi ketua Pendidikan Ma’arif. Tahun 1950, ketika NU menjadi partai politik, ia di tunjuk sebagai Ketua Biro Politik. Tahun 1945, ia terpilih menjadi ketua II Majelis Syura Dewan Partai Masyumi. Empat tahun kemudian, ia diangkat menjadi Menteri Agama dalam Kabinet Hatta. Setalah Kabinet Hatta berakhir tahun 1950. Dan di gantikan Natsir (1950-1951) dan Kabinet Sukiman (1953), ia tetap menjadi Menteri Agama hingga akhir hayatnya tanggal 19 April 1953.[4]
2.    Pemikiran Pendidikan Wahid Hasyim
Wahid Hasyim di kenal sebagai perintis pendidikan klasikal dan pendidikan modern di dunia pesantren. Wahid Hasyim memiliki obsesi yang tinggi dalam mendudukkan santri yang mana posisinya sejajar atau bahkan lebih tinggi dalam kelompok lain. Karena Wahid Hasyim tidak ingin melihat para santri itu lebih rendah kedudukkannya dalam pergaulan masyarakat. Wahid Hasyim juga dikenal sebagai pemimpin nasional yang berpemikiran maju dan tetap memiliki sikap tawadlu (rendah hati).
Wahid Hasyim menerapkan model pendidikan klasikal dengan memadukan unsur ilmu agama dan ilmu umum di pesantrennya yang bernama Madrasah Nizamiyah yang didirikannya. Karena menurut Wahid Hasyim pendirikan madrasah seperti itu tidak semua santri bercita-cita ingin menjadi ulama. Bagi mereka yang tidak ingin menjadi ulama tidak terlalu penting diajarkan kitab-kitab klasik dan pengusaaan bahasa Arab. Bagi Wahid Hasyim mereka cukup belajar dari literatur-literatur keislaman berbahasa Arab yang tidak memakan waktu yang tidak terlalu lama. Selebihnya mereka cukup di beri pengetahuan praktis dan keterampilan.[5]
Sikap rendah hati juga menjadi sifat tabiat Wahid Hasyim, hal ini bisa dilihat ketika Wahid Hasyim melakukan percakapan sehari-hari dengan ayahnya. KH. Hasyim Asy’ari biasa melakukan percakapan dengan berbahasa arab yang fasih. Tetapi Wahid Hasyim selalu menjawab dengan bahasa Jawa halus (kromo inggil). Wahid Hasyim bukan tidak lancar berbicara bahasa Arab, tetapi penggunaan bahasa Jawa halus saat bercakap-cakap dengan ayahnya dilakukan Wahid Hasyim untuk memperlihatkan sikap tawadlu kepada orang tuanya.[6]
Sudah menjadi hal yang lumrah bagi siapa saja harus menghormati (takzim) kepada kedua orang tuanya, dan itu jelas ditunjukan oleh Wahid Hasyim kepada ayahnya KH. Hasyim Asy’ari. Dan selain sebagai ayah KH. Hasyim Asy’ari juga sebagai Guru dari Wahid Hasyim yang semua itu ia tujukan dengan rasa tawadlu kepada gurunya sendiri KH. Hasyim Asy’ari. Wahid Hasyim menghormati ayahnya karena sebagai ayahnya beliau sendiri, dan Wahid Hasyim bersifat tawadlu (rendah hati) karena ilmu yang di miliki oleh bapaknya.
Menurut Prof. Maragustam ada beberapa macam pendidik dalam Islam[7] :
1.      Allah sebagai pendidik utama
Sebagaimana dalam Q.S Ar-Rahman ayat 1-4 : “ Tuhan yang maha pemurah (1) yang telah mengajarkan Al-Quran (2) Dia menciptakan manusia (3) mengajarkannya pandai berbicara (4)”. Menurut Al- Maraghi ayat ini menerangkan bahwa Allah Nabi Muhammad dan Nabi Muhammad mengajarkannya pada umatnya.

2.      Rasul sebagai pendidik
Sebagaimana dalam Surah Al-Baqarah ayat 151 : “Sebagaimana (kami telah menyempurnakan nikmat kami kepadamu) Kami telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al kitab dan Al-Hikamah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui.
3.      Orang Tua Sebagai Pendidik
Sebagaimana dalam surah Luqman ayat 12-19 : yang intinya mencakup bahwa Luqman sebagai Orang tua mendidik anaknya dengan naseht-nasehat yang mencakup pokok-pokok tuntunan agama, seperti akidah, syariah, dan akhlak, terhadap Allah, terhadap diri sendiri, dan terhadap orang lain.
4.      Setiap Orang Adalah Pendidik Asalkan Dia punya Ilmu
Manusia adalah makhluk educandum (membutuhkan) dan educandus ( dapat mendidik orang lain). Disamping manusia sebagai makluk pendidik juga mewajibkan para pendidik mendidik orang lain agar terhindar dari perbuatan munkar dan maksiat (Q.S at- Tahrim.)
Terkait dengan pemikiran Wahid Hasyim tentang jenjang pendidikan, PTAIN adalah salah satu peninggalan beliau yang paling monumental, yang kemudian menjadi IAIN, dan sekarang berkembang menjadi UIN. Ide awal Wahid Hasyim tentang perguruan tinggi di maksudkan untuk merekonstruksi nilai-nilai tradisional yang tidak kondusif bagi proses perubahan sosial. Itu semua ada kaitanya dengan persoalan relasi gender, maka termasuk bias gender yang sering kali menghambat tercapainya masyarakat yang berkeadilan.[8] Dalam bidang akademik-keilmuan banyak materi-materi kajian  keislamanan yang masih di rasakan bias gender. Interpretasi agama yng bias gender menjadi penyumbang utama ketidakadilan dalam relasi laki-laki dan perempuan dalam masyarakat Muslim.
Ide pendirian perguruan tinggi Islam yang di gagas Wahid Hasyim juga memberikan kontribusi positif bagi partisipasi kaum perempuan yang mengakses pendidikan lebih tinggi lagi. Kaum perempuan yang latar belakang pendidikannya pesantren pada waktu itu, hanya bisa mengikuti pendidikan di pesantren dan hanya sampai pada tingkat lanjutan. Tetapi setelah diadakannya pendidikan lebih tinggi ini, kaum perempuan memiliki kesempatan terbuka untuk mengikuti pendidikan yang lebih luas lagi. Sebagaimana kita maklumi, budaya yang waktu itu masih terdapat apa yang disebut sebagai Budaya Patriarki (budaya yang cenderung mengutamakan laki-laki daripada perempupan) termasuk dalam jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Maka ide yang di kembangkan Wahid Hasyim sangat relevan apabila di hadapkan dengan semangat zaman egaliter, dan demokratis menjadi konsen Wahid Hasyim.
Menurut Prof. Maragustam Wahid Hasyim berpandangan bahwa manusia di beri bekal oleh Allah jasmani dan rohani serta akal pikiran. Sedangkan pendidikan Islam berfungsi untuk menumbuhkan dan mengembangkannya. Pemikiran Wahid Hasyim tersebut sebenarnya merupakan refleksi dari ajaran Islam dan bersesuaian dengan pemikiran ahli filsafat pendidikan kontemporer. Dan manusia juga menurut Wahid Hasyim adalah makhluk yang dapat dididik dan mendidik, karena Wahid Hasyim sangat  mementingkan pengaruh pendidikan dalam proses pengembangan keperibadian manusia.[9]
5.    Implikasi Pemikiran Pendidikan Wahid Hasyim Di Era Modern
Ada beberapa hal yang perlu kita ketahui tentang wahai Hasyim di era modern ini :
a.        Wahid Hasyim Contoh Otodidak
Kalau di dalam ilmu pendidikan terdapat konsep pendidikan otodidak, maka hal itu telah di alami oleh Wahid Hasyim. Putra Kyai besar, pendiri organisasi NU ini, hanya belajar di pesantren dan madrasah yang di asuh oleh orang tuanya sendiri. Setelah dari pondok pesantren Siwalan, beliau kemudian belajar ke Lirboyo, Kediri, tetapi lagi-lagi hanya beberapa hari. Ayah dari KH. Abdurrahman Wahid ini kemudian juga berpindah-pindah dari pesantren satu ke pesantren berikutnya, namun selalu saja di jalaninya hanya beberapa saat.
Ilmu wawasan luas yang dimiliki oleh Wahid Hasyim diperoleh dari kegiatan membaca sendiri. Ia memandang bahwa bahasa adalah jendela ilmu. Makanya selain belajar bahasa Arab, juga belajar  bahasa Inggris dan bahasa Belanda. Kedua bahasa asing tersebut diperoleh melalui kursus dari orang Belanda yang sehari-hari bekerja di pabrik tebu yang bertempat tinggal tidak jauh dari rumahnya. Dengan cara itu putra Kiai besar ini mampu berkomunikasi dengan tiga bahasa, yaitu bahasa Arab, Belanda, Inggris.[10]
Berbekal mengusai bahasa asing, Wahid Hasyim selalu menambah wawasannya dengan membaca majalah-majalah dan buku-buku yang berbahasa asing. Karena kegemaran membaca dan di tambah lagi dengan mengusai bahasa asing Wahid Hasyim bisa memperkaya pengetahuannya secara mandiri.
Kisah pendidikan formal yang di alami oleh Wahid Hasyim ini sebenarnya sangat menarik, karena sangat berlawanan dengan kebijakan pendidikan yang di berlakukan oleh pemerintah pada saat ini. Pada saat itu, orang lebih menghargai ilmu dari manapun asalnya, termasuk melalui otodidak. Pada saat sekarang pemerintah hanya mengakui kegiatan pendidikan yang diselenggarakan secara formal, kalau seandainya Wahid Hasyim hidup pada zaman sekarang, ilmu dan kecakapnnya yang sedemikian tinggi dan luas, terpaksa tidak akan mendapatkan tempat di institusi pemerintahan, apalagi menjadi seorang menteri hanya karena tidak memiliki ijazah.
Pada saat sekarang ini, apa saja dan tidak terkecuali pendidikan dijalankan melalui peraturan yang cukup ketat. Menyimpang dari peraturan yang di anggap salah, sekalipun bernilai tinggi. Kreativitas menjadi tersumbat dana apa saja di jalankan dengan pendekatan formal, walaupun akibatnya tidak lebih dari sekedar formalitas. Dengan mudah dapat kita lihat, banyak lembaga pendidikan hanya memenuhi syarat formal, dan bahkan ijazah dan gelar lulusannya pun berbau formalitas. Kualitas yang bersifat substansial malah tersingkirkan.[11]
b.        Wahid Hasyim Pemrakarsa Lahirnya Perguruan Tinggi Islam Pertama
Ide cerdas yang di rasakan aneh oleh kebanyakan orang pada saat itu adalah Wahid Hasyim tidak pernah mendirikan pesantren, tetapi bersama tokoh Islam lainnya, sekolah tinggi Islam di Jakarta. Ternyata perguruan tinggi Islam ini selanjutnya menjadi cikal bakal perguruan tinggi Islam yang ada di Indonesia sekarang ini. Boleh jadi, insan perguruan tinggi Islam selama ini tidak pernah tahu bahwa perintis lembaga pendidikan yang mengeluarkan gelar akademik formal selama ini, sebenarnya di lahirkan oleh orang yang tidak pernah memperoleh gelar akademik formal, yaitu diantaranya adalah Wahid Hasyim.
Dalam catatan sejarah, Wahid Hasyim pernah datang dan memberi pada upacara peresmian pembukaan Universitas Islam Sumatera Utara. Selain itu, ia juga datang memberi sambutan pada peresmian berdirinya Perguruan Tinggi Islam Negeri di Yogyakarta. Kampus yang menjadi tanggung jawab Kementerian Agama ini akhirnya berubah menjadi Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta.
c.         Pandangan Wahid Hasyim Terhadap Kesetaraan Gender
Pemikiran yang di kembangkan oleh Wahid Hasyim adalah “Islam pada hakikatnya tidak mengenal adanya diskriminasi dalam segala hal,” hal ini memberikan kontribusi bagi pemikiran masyarakat Indonesia bahwa diskriminasi adalah bentuk membedakan perlakuan terhadap seseorang berdasarkan agama, jenis kelamin, dan kelas sosial yang mengakibtkan seseorang tidak mendapatkan akses, partisipasi, kontrol, dan menerima manfaat yang sudah dimiliki oleh seseorang.
Terkait relasi gender, maka diskriminasi menjadi kata yang amat penting untuk di jadikan sebagai analisis melihat perlakuan terhadap laki-laki dan perempuan. Realitas kehidupan dewasa ini menunjukakan bahwa masyarakat modern menuju pada tata nilai yang lebih berkeadilan. Setiap manusia memiliki hak yang setara dalam mendapatkan akses dan kesempatan untuk memperoleh manfaat dari pembangunan dan kemajuan peradaban. Undang-Undang Dasar 1945 menjamin dan melindungi segenap warga negara serta meningkatkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Oleh karena itu, perbedaan agama, etnis, jenis kelamin dan gender, kelas sosial, serta kemampuan fisik berbeda (difabel) tidak menghalangi seseorang untuk memiliki hak yang sama. Hak tersebut meliputi hak hidup, pangan, kesehatan, pendidikan, politik, dan ekspresi sosial budaya.[12]
  


BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Wahid Hasyim di kenal sebagai perintis pendidikan klasikal dan pendidikan modern di dunia pesantren. Beliau memadukan unsur ilmu agama dan ilmu umum di pesantrennya yang bernama Madrasah Nizamiyah yang didirikannya. Karena menurut Wahid Hasyim pendirikan madrasah seperti itu tidak semua santri bercita-cita ingin menjadi ulama. Dan PTAIN adalah salah satu peninggalan beliau yang paling monumental, yang kemudian menjadi IAIN, dan sekarang berkembang menjadi UIN. Yang mana dengan berdirinya perguruan tinggi tersebut bahwa mulai tumbuhnya kesetaraan gender.
Undang-Undang Dasar 1945 menjamin dan melindungi segenap warga negara serta meningkatkan kesejahteraan umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Di abad modern ini semuanya sudah di atur oleh UUD 1945, maka terkait permasalahan kestaraan  gender, itu semua cukup dibiarkan saja kepada UUD yang mengatur hal tersebut.
Pada saat sekarang ini, apa saja dan tidak terkecuali pendidikan dijalankan melalui peraturan yang cukup ketat. Menyimpang dari peraturan yang di anggap salah, sekalipun bernilai tinggi. Kreativitas menjadi tersumbat dana apa saja di jalankan dengan pendekatan formal, walaupun akibatnya tidak lebih dari sekedar formalitas. Sementara kualitas yang bersifat substansi itu sangat melengser jauh dari negara ini.
  

DAFTAR PUSTAKA
Hasyim, Wahid: Sejarah, Pemikiran, dan Baktinya bagi Agama dan Bangsa, Yogyakarta: Pesantren Tebuireng, 2011.
Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global, Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2010.
Maragustam: Studi Kritis Ide-Ide Sentral KH. A Wahid Hasyim tentang Pendidikan Islam, JURNAL PENELITIAN AGAMA, No. 25 TH. IX Mei – Agustus 2000.
Rokhim, Nur, Kiai-Kiai Kharismatik Dan Fenomenal, Yogyakarta: IRCiSoD, 2015.
Roziqin, Badiatul dkk, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, Yogyakarta: e-Nusantara, 2009.





[1] Nur Rokhim, Kiai-Kiai Kharismatik Dan Fenomenal, (Yogyakarta: IRCiSoD, 2015), hlm. 229.
[2] Ibid., hlm. 230.
[3] Ibid., hlm. 231.
[4] Ibid., hlm. 231
[5] Badiatul Roziqin dkk, 101 Jejak Tokoh Islam Indonesia, (Yogyakarta: e-Nusantara, 2009), hlm. 32.
[6] Ibid., hlm. 33.
[7] Maragustam, Filsafat Pendidikan Islam Menuju Pembentukan Karakter Menghadapi Arus Global, (Yogyakarta: Kurnia Kalam Semesta, 2010), hlm. 203-205.
[8]Ema Maemunah, KH. A. Wahid Hasyim: Sejarah, Pemikiran, dan Baktinya bagi Agama dan Bangsa, (Yogyakarta: Pesantren Tebuireng, 2011), hlm. 398.
[9] Maragustam: Studi Kritis Ide-Ide Sentral KH. A Wahid Hasyim tentang Pendidikan Islam, JURNAL PENELITIAN AGAMA, No. 25 TH. IX Mei – Agustus 2000, hlm. 45.
[10] Suprayogo, KH. A. Wahid Hasyim: Sejarah, Pemikiran, dan Baktinya bagi Agama dan Bangsa, (Yogyakarta: Pesantren Tebuireng, 2011), hlm. 380.
[11] Ibid., hlm. 381.
[12] Ema Marhumah, KH. A. Wahid Hasyim: Sejarah, Pemikiran, dan Baktinya bagi Agama dan Bangsa, (Yogyakarta: Pesantren Tebuireng, 2011), hlm.

Komentar

Postingan Populer