ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA PARUH AKHIR ORDE BARU(Tahun 1982-1998)



ANALISIS KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM PADA MASA PARUH AKHIR ORDE BARU(Tahun 1982-1998)
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Analisis Kebijakan Pendidikan Islam
Dosen Pengampu        : Dr. Sabarudin, M.Si



Disusun Oleh  :
Andri Septilinda Susiyani       : 1520410040
Malik B. Giu                           : 1520410064


KONSENTRASI MANAJEMEN DAN KEBIJAKAN PENDIDIKAN ISLAM
PRODI PENDIDIKAN ISLAMPROGRAM PASCASARJANA (S2)
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UINIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA
YOGYAKARTA
2015





PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Sejarah pendidikan Islam dimasa Orde Baru adalah merupakan pergantian dari orde lama. Kebijakan-kebijakan pemerintah, mulai dari pemerintah kolonial, awal dan pasca kemerdekaan hingga masuknya Orde Baru terkesan meng-“anak tirikan”, mengisolasikan bahkan hampir saja menghapuskan sistem pendidikan Islam hanya karena alasan ”negara bukanlah negara Islam”. Namun berkat semangat juang yang tinggi dari tokoh-tokoh pendidikan Islam, akhirnya berbagai kebijakan tersebut mampu “diredam” untuk tujuan ideal, yaitu menciptakan manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, brakhlak mulia…” seperti tercantum dalam UU SISDIKNAS No. 20 tahun 2003. Dengan demikian, sebenarnya banyak faktor yang mempengaruhi kebijakan-kebijakan pemerintah terhadap pendidikan Islam, baik dari aspek sosial politik maupun aspek religius.
Setelah presiden Sukarno turun, secara otomatis rezim Orde Lama juga terhenti. Bersamaan dengan itu, lahirlah orde lain sebagai penerus perjuangan. Orde ini tidak lain adalah Orde Baru yang dipimpin oleh presiden Suharto. Orde Baru berlangsung dalam rentang waktu yang cukup lama, yaitu kurang lebih 32 tahun. Orde Baru secara harfiyah adalah masa baru yang menggantikan masa kekuasaan Orde Lama. Namun secara politis Orde Baru diartikan  suatu masa untuk mengembangkan negara Republik Indonesia ke dalam sebuah tatanan yang sesuai dengan haluan negara sebagaimana yang terdalam dalam Undang-Undang Dasar 1945 serta falsafah negara pancasila secara murni dan konsekuen.
Perpindahan kekuasaaan Orde Lama kepada Orde Baru ini dilakukan berdasar analisis yang menyatakan banyaknya kebijakan pemerintahan yang telah melenceng dari UUD 1945 dan Pancasila, sehingga apabila kekuasaan ini di teruskan maka tujuan dan cita-cita proklamasi kemerdekaan akan jauh dari keberhasilan.[1]
Konsep pendidikan yang diterapkan di Indonesia, tidak pernah lepas dari unsur politik dan kebijakan pemerintah. Pendidikan pada masa Orde Baru merupakan sistem pendidikan terpusat (sentralisasi), yang menyebabkan  kualitas pendidikan Indonesia semakin memburuk, dengan demikian pendidikan pada masa Orde Baru bukan untuk meningkatkan taraf hidup rakyat, apalagi untuk meningkatkan sumber daya manusia Indonesia, tetapi lebih pada mengutamakan orientasi politik agar semua rakyat selalu patuh pada setiap kebijakan yang dikeluarkan pemerintah.

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah penulis kemukakan di atas, maka dapat dirumuskan pokok-pokok permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini:
1.    Bagaimana isu pendidikan islam pada masa paruh akhir orde baru ?
2.    Bagaimana rumusan kebijakan pendidikan islam pada masa akhir orde baru ?
3.    Bagaimana implementasi kebijakan pendidikan islam pada masa akhir orde baru ?
4.    Bagaimana evaluasi kebijakan pendidikan islam pada masa akhir orde baru ?

C.  Tujuan
Makalah ini mempunyai tujuan pokok, yaitu :
1.    Untuk mengetahui isu pendidikan islam pada masa paruh akhir orde baru.
2.    Untuk mengetahui rumusan kebijakan pendidikan islam pada masa akhir orde baru.
3.    Untuk mengetahui implementasi kebijakan pendidikan islam pada masa akhir orde baru.
4.    Untuk mengetahui evaluasi kebijakan pendidikan islam pada masa akhir orde baru.


PEMBAHASAN
A.  Isu Pendidikan Islam Pada Masa Paruh Akhir Orde Baru
Tercakupnya pendidikan Islam dalam konstelasi kebijakan pendidikan nasional ini diindikasikan dari beberapa segi: pertama segi konstitusi. Bahwa secara konstitusional pendidikan Islam dilegitimasi oleh kebijakan nasioanal yang berlaku, seperti, sila pertama Pancasila, UUD 1945 pasal 29, UU Nomor 4 Tahun 1950 tentang pendidikan agama, SKB Menteri PP dan K dan Menteri Agama Nomor 1432/ tanggal 20 Januari 1951 (Pendidikan), Nomor K 1/ 652 tanggal 20 Januari 1951 (Agama) tentang peraturan pendidikan agama di sekolah-sekolah, TAP MPR No. IV/ MPR/ 1973 1978 tentang dimasukkannya pendidikan agama dalam kurikulum sekolah, mulai dari Sekolah Dasar sampai Universitas Negeri, UUSPN No. 2 Tahun 1989 di antaranya tentang, tujuan pendidikan adalah membentuk manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, serta peraturan lainnya. Kedua, segi institusi, bahwa lembaga pendidikan yang tertua dan berakar secara nasional, bahkan sebelum kolonialisme bangsa Eropa, adalah pesantren dan sejenisnya (Aceh: rangkang atau dayah, dan Sumatra Barat: surau). Hingga kini pesantren menjadi bagian integral lembaga pendidikan Islam bagi umat Islam di Indonesia. Ketiga, segi sosial, bahwa komposisi penduduk di Indonesia lebih dari 90% adalah umat Islam, sehingga dominan dalam membentuk budaya bangsa, dan memiliki kontribusi yang signifikan bagi pendidikan umat.[2]

B.  Rumusan Kebijakan Pendidikan Islam Pada Masa Akhir Orde Baru
Untuk membahas lebih mendalam mengenai beberapa rumusan kebijakan pendidikan Islam pada masa Orde Baru, pemakalah akan mencoba membaginya ke dalam dua tahapan.


1.    Pendidikan agama dalam GBHN tahun 1973, 1978, 1983, dan 1988.
Kesadaran “Pendidikan Agama” yang menjadi mata palajaran wajib di sekolah-sekolah sejak SD sampai universitas-universitas negeri tersebut kemudian dikuatkan pula dengan TAP-TAP MPR tentang GBHN tahun 1973, 1978, 1983 dan 1988. Pada GBHN tahun-tahun tersebut, status “Pendidikan Agama” tidak mengalami perubahan. Hal ini dapat dilihat :
a.    TAP MPR No. VI/MPRS/1973 Tentang GBHN, pada Bidang Agama dan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Sosial Budaya, dalam angka 3 dinyatakan;
“Diusahakan bertambahnya sarana-sarana yang diperlukan bagi pengembangan keagamaan dan kehidupan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, termasuk Pendidikan Agama yang dimasukkan kedalam kurikulum di sekolah-sekolah mulai dari sekolah dasar sampai dengan universitas-universitas negeri”
b.    TAP MPRS No: IV/MPRS/1978 tentang GBHN, pada Sektor Agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Sosial Budaya, dalam angka 1.d. dinyatakan sebagai berikut:
“Diusahakan supaya terus bertambah sarana-sarana yang diperlu­kan bagi pengembangan kehidupan Keagamaan dan kehidupan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, termasuk Pendidikan Agama yang dimasukkan dalam kurikulum di sekolah-sekolah, mulai sekolah dasar sampai dengan universitas negeri.”
c.    TAP MPRS No :II/MPRS/1383 tengang GBHN, pada Bab IV“Agama dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa, Sosial Budaya”, angka 1. d. dinyatakan:
“Diusahakan supaya terus bertambah sarana-sarana yang diperlu­kan bagi pengembangan kehidupan Keagamaan dan kehidupan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, termasuk Pendidikan Agama yang dimasukkan dalam kurikulum di sekolah-sekolah, mulai sekolah dasar sampai dengan universitas negeri.”
d.    TAP MPRS No: II/MPRS/1988 tentang GBHN, pada bagian “Pengembangunan dan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa” dalam angka 1. d. berbunyi:
“Diusahakan supaya terus bertambah sarana-sarana yang diperlu­kan bagi pengembangan kehidupan Keagamaan dan kehidupan Kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, termasuk Pendidikan Agama yang dimasukkan dalam kurikulum di sekolah-sekolah, mulai sekolah dasar sampai dengan universitas negeri.”
Dari uraian di atas jelas tergambar bahwa sejak GBHN tahun 1973 s/d GBHN tahun 1988, status “Pendidikan Agama” di sekolah-sekolah umum tidak mengalami perubahan dan tetap menjadi mata pelajaran wajib di sekolah-sekolah, sejak SD sarnpai PT Negeri.
2.    Pendidikan agama dalam UU. RI No.2 Tahun 1989
MeIalui perdebatan yang panjang dalam DPR, akhirnya pada tanggal 27 Maret 1989 disahkan UURI No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam UU tersebut, kedudukan “Pendidikan Agama” mendapatkan tempat yang terhormat. Dalam Bab. IX pasal 39 ayat 2 ditetapkan:[3])
“Isi kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan wajib memuat:
a.    Pendidikan Pancasila
b.    Pendidikan Agama, dan
c.    Pendidikan Kewargaan Negara”
Kemudian dalam bagian penjelasannya, untuk masalah “Pendidikan Agama” ini ditegaskan:
“Pendidikan Agama merupakan usaha untuk memperkuat iman dan ketaqwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan agama yang dianut oleh peserta didik yang bersangkutan dengan memperhatikan antar umat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional”.
Dengan ketetapan yang demikian, berarti Pendidikan Agama tidak hanya di berikan di sekolah-sekolah dasar sampai universitas negeri, tetapi diberikan disetiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan, sejak prasekolah sampai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, baik pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah; baik pendidikan umum, kejuruan, luar biasa, kedinasan, keagamaan, akademik maupun pendidikan profesional.
Peran Pendidikan Agama nampak begitu penting bila dikaitkan dengan pasal 4 tentang tujuan Pendidikan Nasional. Dalarn pasal 4 tersebut ditegaskan:[4])
“Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.
Untuk melaksanakan UURI No: 2 Tahun 1989 tersebut Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah RI No: 27, 28 dan 29 Tahun 1990. Dalam PP-PP tersebut, tergambar pula kedudukan “Pendidikan Agama” yang begitu kuat. Ditegaskan bahwa salah satu isi program kegiatan belajar yangmenjadi hak setiap peserta didik adalah memperoleh “Pendidikan Agama” sesuai dengan agama yang dianutnya. (Baca PP No: 27 tahun 1990 tentang Pendidikan Prasekolah Bab IV pasal 14 dan Bab VII pasal 16, PP No: 29 Tahun 1990 tentang Pendidikan menengah Bab VII pasal 15 dan Bab VIII pasal. 17).
Namun yang masih menjadi persoalan adalah bagaimana pelaksanaan “Pendidikan Agama” dari anak (peserta didik) yang sekolah di lembaga sekolah yang diselenggarakan oleh yayasan keagamaan tertentu yang berbeda dengan agama yang dianut oleh anak yang bersangkutan. Atau tegasnya, bagai­mana “Pendidikan Agama” anak-anak yang beragama Islam yang bersekolah di sekolah Yayasan Kristen/Katholik?
Dalam masalah ini, terdapat ketentuan UURI No. 2 tahun 1989 Bab XIII pasal 47 ayat 2: “ciri khas satuan pendidikan yang   diselenggarakan oleh masyarakat tetap diindahkan”. Dalam bagian penjelasan ditegaskan:
“Ayat ini dimaksudkan untuk menghargai setiap penyelenggaraan satuan pendidikan yang diselenggarakan oleh masyarakat yang memiliki ciri-ciri tertentu, seperti satuan pendidikan yang berlatar belakang keagamaan, kebudayaan, dan sebagainya”.
Demikian pula dalam bagian penjelasan PP No: 29 Tahun 1990 pasal 17, terdapat penjelasan sebagai berikut:
“Sekolah menengah yang memiliki kekhususan atas dasar agama tertentu tidak berkewajiban menyelenggarakan Pendidikan Agama lain dari pada agama yang merupakan kekhususan sekolah yang bersangkutan”.
Akibat adanya ketentuan seperti inilah maka ada ratusan peserta didik tidak mendapat hak “Pendidikan Agama” sesuai dengan agama yang dianutnya, karena yang bersangkutan bersekolah di sekolah yang memiliki kekhususan atas dasar agama tertentu yang berbeda dengan agama yang di anutnya.
Dari pembahasan tersebut, kami menyimpulkan bahwa proses perumusan kebijakan pendidikan Islam pada masa awal Orde Baru, yaitu:
1.    Teori Kelembagaan dan Teori Elit, karena pada pelaksanaan “Pendidikan Agama” yang menjadi mata palajaran wajib di sekolah-sekolah sejak SD sampai universitas-universitas negeri tersebut kemudian dikuatkan pula dengan TAP-TAP MPR tentang GBHN tahun 1973, 1978, 1983 dan 1988.  Teori Kelompok, karena pernah ada usul agar pemerintah memasukkan kurikulum perbandingan agama untuk di sekolah-sekolah lanjutan atas; SMU dan Madrasah Aliyah, atau yang setingkat. Namun, usul ini diprotes oleh beberapa kalangan Muslim karena dianggap dapat merusak dan melemahkan iman para anak didik.
2.    Teori Proses, karena dengan meIalui perdebatan yang panjang dalam DPR, akhirnya pada tanggal 27 Maret 1989 disahkan UURI No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Dalam UU tersebut, kedudukan “Pendidikan Agama” mendapatkan tempat yang terhormat. Dalam Bab. IX pasal 39 ayat 2.
3.    Teori Rasional, karena adanya pembaharuan-pembaharuan kebijakan yang mengarah kepada kebaikan, yaitu dengan adanya pembaharuan pelajaran yang diadakan di sekolah, dan juga teori rasional karena pada saat pemerintah mengambil atau memutuskan kebijakan-kebijakan berusaha memilih kebijakan yang memberikan manfaat yang maksimal bagi peserta didik.
4.    Teori system, yang perlu digaris bawahi disini bahwa kelemahan dalam teori ini adalah terpusatnya perhatian pada tindakan-tindakan yang dilakukan pemerintah. Oleh karena itu, untuk melaksanakan UURI No: 2 Tahun 1989 tersebut Pemerintah telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah RI No: 27, 28 dan 29 Tahun 1990. Dalam PP-PP tersebut, tergambar pula kedudukan “Pendidikan Agama”.

C.  Implementasi Kebijakan Pendidikan Islam Pada Masa Paruh Akhir Orde Baru
a.    Kelembagaan
1)   Pondok Pesantren
Modernisasi pesantren dilakukan dengan mengembangkan bentuk alternatif kelembagaannya. Tidak hanya aspek kurikulum, manajemen, kegiatan, maupun sistem pengajarannya yang dikembangkan, emlainkan pula sebagaian pesantren sudah mulai memadukan madrasah ke dalam pesantren. Bahkan tidak sedikit di antara madrasah swasta yang ada sekarang didirikan di lingkungan pesantren. Jika pada masa kolonial pesantren umumnya bercorak salaf, non-klasikal, tradisional dan mengajarkan murni agama Islam, setelah terjadi modernisasi pada awal kemerdekaan dan seterusnya hingga seperti sekarang, sebagaian pesantren berpola khalaf, klasikal, modern dan memasukkan mata pelajaran umum dalam madrasah yang dikembangkannya.
Pesantren khalaf atau modern, akrena krikulumnya telah dikembangkan sedemikian rupa, bahkan mengintegrasikan ke dalam sistem madrasah dengan mengikuti kurikulum dari Departemen Agama, atau bahkan membuka sekolah umum sesuai dengan kurikulum Pendidikan Nasional, maka lulusannya tidak mengalami kesulitan untuk meneruskan ke jenjang pendidikan selanjutnya atau bekerja. Berbeda dengan pesanttren salaf yang tidak emmbuka madrasah apalagi sekolah, maka lulusannya pun mengalami kesulitan dalam melanjutkan ke jenjang berikutnya.
Untuk ini pemerintah mengeluarkan kebijakan ujian persamaan di Madrasah-madrasah Aliyah tanpa harus mengikuti pelajaran formal, dan melalui SKB Dua Menteri No 1/ U/ KB/ 2000 dan No MA/ 86 / 2000, maka para santri di Pondok Pesantren Salafiyah yang berusia 7-15 tahun yang mengikuti pendidikan Diniyah Awaliyah (tingkat dasar) dan Diniyah Wustho (tingkat lanjutan pertama), yang tidak sedang menempuh pendidikan pada SD/ MI dan SLTP/ MTs atau bukan pula tamatan keduanya, dapat diakui memiliki kemampuan yang setara dan kesempatan yang sama untuk melanjutkan belajar ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, bila pesantren tersebut menambah beberapa mata pelajaran umum minimal 3 mata pelajaran, yakni Bahasa Indonesia, matematika dan IPA dalam kurikulum lokalnya. STTB atau ijazah yang dikeluarkan oleh Pondok Pesantren penyelenggara program ini diakui oleh pemerintah setara dengan STTB SD/ MI atau SLTP/ MTs dan dapat dipergunakan untuk melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dengan syarat-syarat yang akan diatur oleh departemen terkait.[5]

2)   Sekolah
Perdebatan tentang pendidikan islam di sekolah dalam UU No.2/1989 yang diundangkan 27 Maret 1989 berawal dari substansi tujuan pendidikan nasional, yakni : “Pendidikan nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan membentuk manusia indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman dan bertakwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani, dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.
Tidak seperti undang-undnag sebelumnya (UU No.4/1950) yang belum mengatur bagaimana konsep dan implementasi pendidikan islam, dalam UU No.2/1989 telah mengatur ketentuan pelaksanaan melalui disahkannya sejumlah Peraturan Pemerintah (PP) seperti: PP 27/1990 tentang Pendidikan Pra Sekolah, PP 28/1990 tentang Pendidikan Dasar, PP 29/1990 tentang Pendidikan Menengah, PP 60/1999 (Pengganti PP 30/1990) tentang Pendidikan Tinggi, PP 72/1991 tentang Pendidikan Luar Biasa,PP 73/1991 tentang Pendidikan Luar Sekolah,PP 38/1992tentang Tenaga Kependidikan,PP 39/1993tentang Peranserta Masyarakat dalam Pendidikan Nasional, dan Peraturan Pemerintah lainnya.[6]

3)   Madrasah
Madrasah adalah lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang muncul sejak awal abad ke-20, madrasah muncul dengan menyandang identitas sebagai lembaga pendidikan Islam. Salah satu di antara kebijakan pada pemerintahan Orde Baru yang mendasar dan cukup panjang dampaknya, bagi madrasah adalah dibuatnya Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri, yaitu Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama pada tahun 1975 tentang Peningkatan Mutu Pendidikan Pada Madrasah, dengan dikeluarkannya SKB 3 Menteri ini madrasah memiliki posisi yang sama dengan sekolah umum, kendatipun penyelenggaraannya tetap di bawah Departemen Agma. Mulai dari ditetapkannya SKB 3 Menterilah, madrasah mulai berintegrasi dalam sistem pendidikan nasional.
Menindaklanjuti SKB 3 Menteri tersebut dibuatlah SKB 2 Menteri, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Agama pada tahun 1984 tentang Pengaturan Pembakuan Kurikulum Sekolah Umum dan Kurikulum Madrasah, yang isinya antara lain penyamaan mutu lulusan madrasah yang dapat melanjutkan pendidikan ke sekolah umum yang lebih tinggi. Inilah yang kemudian melahirkan kurikulum tahun 1984 untuk madrasah dengan Keputusan Menteri Agama No 99, 100 dan 101 tahun 1984. Kurikulum madrasah tahun 1984 mempertegas integrasi madrasah ke dalam sistem pendidikan nasional, sama seperti halnya sekolah umum.[7]

b.    Kurikulum
Sejak Orde Baru menghasilkan kebijakan kurikulum 1975 hingga 4 tahun setelah reformasi atau sekitar 27 tahun, kurikulum pendidikan nasional tidak mengalami perubahan yang berarti. Pada paruh kedua kekuasaan Orde Baru, pemerintah mengambil kebijakan dengan mempergunakan kurikulum 1984, yang sebenarnya dapat dikatakan merupakan penyempurnaan dari kurikulum 1975. Kurikulum 1984 ini lebih akrab disebut dengan CBSA (Cara Belajar Siswa Aktif). Setelah hampir satu dekade, kurikulum 1994 menuai banyak penilaian dari masyarakat sebagai kurikulum yang terlalu sarat materi, tumpang tindih (overlapping), terlalu banyak hafalan, sentralistik dan kurang mencerminkan nuansa desentralistik, sementara siswa lebih cenderung diajar (sebagai objek) bukan belajar (sebagai subyek). Maka dengan maksud menyesuaikan perubahan zaman, baik akibat desakan internal maupun eksternal, kurikulum 1994 dikembangkan ke arah Kurikulum Berbasis kompetensi (KBK, Competency Based Curriculum).
Perbedaan prinsipal antara kurikulum konvensional (kurikulum 1994 dan sebelumnya) dengan KBK secara konseptual nampak dalam beberapa aspek. Pertama, kurikulum konvensional menekankan pada isi (content based) sebagaimana terlihat dalam penguasaan materi pelajaran baik oleh guru maupun murid, sedang KBK mengutamakan kemampuan (competency based). Kedua, karena kurikulum konvensional berbasis pada isi (content based), maka proses pembelajarannya berorientasi pada buku teks (textbook-oriented) dimana dalam prakteknya amat tergantung pada guru dan dosen (teacher centered), sedang pada KBK abahn ajar yang dipilih menggunakan bantuan multimedia.
Dari sini KBK diharapkan dapat menciptakan suasana pembelajaran yang lebih efektif (entertainment) atau edutainment. Adapun peran guru/ dosen memberi bimbingan seperlunya pada siswa yang aktif terlibat dalam proses pembelajaran (active learning). Ketiga, feed back atau umpan balik dalam kurikulum konvensional dilakukan tidak secara langsung setelah satu unit pembelajaran selesai dilaksanakan, melainkan ditunda dalam tahapan waktu, semester atau tingkat. Berbeda dengan itu, KBK menerapkan umpan balik seketika setelah satu unti pembelajaran selesai dilakukan. Keempat, kurikulum konvensional berorientasi pada mata pelajaran, sementara KBK pada moduler yang menekankan pada belajar tuntas (mastery learning) dan belajar berkelanjutan (continous learning), dimana sebelum satu modul mampu dikuasai seseorang siswa belum bisa pindah ke modul berikutnya.[8]Betapa pun di atas kertas, konsep KBK dipandang memberi alternatif atas kelemahan kurikulum konvensional, dalam realisasinya belum tentu menampakkan hasil yang sama antara satu lembaga dengan lainnya, mengingta bahwa kurikulum merupakan salah satu faktor dari berbagai faktor pendidikan.

D.  Analisis Kebijakan Pendidikan Islam Pada Masa Paruh Akhir Orde Baru
Kebijakan (policy) merupakan sekumpulan keputusan yang diambil oleh seorang atau kelompok politik dalam usaha memilih tujuan-tujuan dan cara-cara untuk mencapai tujuan tersebut. Kebijakan selalu mengandung keputusan, dimana keputusan kebijakan merupakan alternatif yang diambil mengenai cita idiil, sedang kriteria yang dipakai mungkin rasionalitas, prioritas atau kaidah konstitusi. Pelaksanaan program suatu kebijakan bergantung pada bidang perumus dan pelakunya, yang dalam kaitan ini kebijakan tersebut adalah bidang pendidikan, sedang perumus dan pelakunya adalah pembuat kebijakan (legislature, DPR dan MPR), pemerintah (eksekutif, misalnya presiden), badan administratif (misalnya menteri kabinet), dan peserta non-struktural (parpol, inters group dan tokoh perorangan), mengingat kebijakan pendidikan itu sendiri diartikan sebagai kebijakan pemerintah untuk mengatur pendidikan di negaranya.[9]
Pemerintah sebagai perumus dan pelaku kebijakan pendidikan nasional dapat diklasifikasikan dalam dua bentuk; pertama, yang terwujud dalam peraturan pemerintah, seperti GBHN, TAP MPR, Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN), kurikulum (tujuan, materi, metode dan evaluasi) dari tahun 1950 hingga tahun 2004, serta peraturan lainnya; kedua, yang terwujud dalam sikap pemerintah, terutama Mentri Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Mentri Pendidikan Nasional), dan ini terbagi dalam dua kategori: sikap resmi (formal) meliputi SK menteri, program dan kegiatan, da sikap tidak resmi (non-formal) meliputi komentar dan statement atau lainnya yang diketahui via media massa.
Kemudian, diakui bahwa faktor sistem politik suatu negara mempengaruhi produk kebijakannya. Oleh karena itu realistik bila mana kebijakan pendidikan di suatu negara berbeda dengan kebijakan pendidikan di negara lain. Bahkan, bilamana terjadi perubahan para perumus dan pelaku kebijakan dalam satu negara, misalnya pergantian menteri, pada kurun waktu tertentu, kebijakan pendidikan dapat mengalami perbedaan, pembaharuan, perkembangan atau pergeseran.
Terjadinya pergeseran kebijakan pendidikan nasional dievaluasi melalui upaya analisis kebijakan, yakni analisis yang membuat generalisasi atau menyajikan informasi sedemikian hingga dapat memperbaiki dasar bagi perumus kebijakan untuk mengevaluasi keputusan mereka atau menurut Quade :”any type of analisys that generatesand presents information in such a way to improve the basis for policy-makers to exersice their judgment...” Analisis kebijakan merupakan penerapan disiplin ilmu sosial yang menggunakan metode inquiry dan argumentasi berganda.
Tujuan dilakukannya analisis kebijakan adalah untuk kepentingan pembaharuan (reformasi) pendidikan, setelah diketahui faktor keberhasilan dan kendala selama kebijakan pendidikan nasional tersebut dilaksanakan. Dalam interval waktu dimaksud, kebijakan pendidikan nasional telah mengalami serangkaian pembaharuan dan pergeseran, mulai dari kurikulum dan undang-undang pendidikan tahun 1950, 1958, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994 sampai dengan diberlakukannya Kurikulum Berbasis Kompetensi pada tahun 2004. Di sini peristiwa transformatif tersebut dianalisis agar diketahui latar belakang, faktor-faktor, dan sebab-akibat serta aspek-aspek kebijakan pendidikan yang telah berubah, untuk kemudian dapat dicari alternatif solusinya bagi pengambilan keputusan kebijakan di masa yang akan datang.
Sebagaimana kita ketahui bersama, Orde Baru diidentikan dengan ideologi atau slogan pembangunan. Begitu pula arah dan kebijakan disesuaikan dengan geraknya pembangunan, di dalam mengaktualisasikan pembangunannya, Orde Baru setiap lima tahun memiliki program pembangunan yang dikenal dengan sitilah Pelita (Pembangunan Lima Tahun). Di dalam Pelita III dan Pelita IV, rumusan pembangunan sarana pendidikan Sekolah Dasar diletakkan pada perluasan pendidikan dasar dalam rangka mewujudkan pelaksanaan wajib belajar yang dan baru kemudian diikuti pada peningkatan mutu dan perluasan pendidikan dasar dalam rangka mewujudkan dan menetapkan pelaksanaan wajib belajar, serta meningkatkan perluasan kesempatan belajar pada tingkat pendidikan menengah.
Pada masa ini UUD dan dasar pendidikan sistem persekolahan tidak ada perubahan dan masih mengacu pada UUD 1945 dan UU No.2 tahun 1989. Ketetapan MPR No. II/ 1993 tentang GBHN memberikan arah tujuan pendidikan nasional menurut UU No. 2 tahun 1989. Program pembangunan pendidikan, antara lain perluasan kesempatan belajar, prioritas mutu pendidikan, program link and match, peningkatan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), dan pengembangan sumber daya manusia (SDM) menyongsong globalisasi.[10]
Kebijakan pendidikan pada masa Orde Baru menurut Tilaar mengarah pada penyeragaman. Pendidikan pada masa ini diarahkan pada uniformalitas atau keseragaman di dalam berpikir dan bertindak. Pakaian seragam, wadah-wadah tunggal dari organisasi sosial masyarakat, semuanya diarahkan pada terbentuknya masyarakat yang homogen. Pada masa ini tidak ada tempat perbedaan pendapat, sehingga melahirkan disiplin semu dan melahirkan masyarakat peniru. Akhirnya pendidikan tidak mempunyai akuntabilitas sosial karena masyarakat tidak diikutsertakan dalam manajemennya. Penerapan pendidikan tidak diarahkan lagi pada peningkatan kualitas, tetapi pada target kuantitas.[11] Walaupun penyelenggaraan satuan pendidikan di paruh kedua masa kepemimpinan Suharto di tahun 1980an mengalami kemajuan dalam setor pendidikan. Lebih dari 100.000 sekolah dibangun, terutama di daerah-daerah pedalaman dan lebih dari 5.000.000 guru dipekerjakan. Pada 1984, dilaporkan bahwa 97% dari anak berusia 7-12 tahun sedang mengenyam bangku sekolah, dibandingkan dengan angka 57% pada tahun 1973. Tingkat melek huruf terus meningkat.[12] Namun akuntabilitas pendidikan sangat rendah, walaupun diterapkan prinsip link and match.
KESIMPULAN

Tujuan dilakukannya analisis kebijakan adalah untuk kepentingan pembaharuan (reformasi) pendidikan, setelah diketahui faktor keberhasilan dan kendala selama kebijakan pendidikan nasional tersebut dilaksanakan.
Dengan ketetapan yang demikian, berarti Pendidikan Agama tidak hanya di berikan di sekolah-sekolah dasar sampai universitas negeri, tetapi diberikan disetiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan, sejak prasekolah sampai perguruan tinggi, baik negeri maupun swasta, baik pendidikan sekolah maupun jalur pendidikan luar sekolah; baik pendidikan umum, kejuruan, luar biasa, kedinasan, keagamaan, akademik maupun pendidikan profesional.
Sebagaimana kita ketahui bersama, Orde Baru diidentikan dengan ideologi atau slogan pembangunan. Begitu pula arah dan kebijakan disesuaikan dengan geraknya pembangunan, di dalam mengaktualisasikan pembangunannya, Orde Baru setiap lima tahun memiliki program pembangunan yang dikenal dengan sitilah Pelita (Pembangunan Lima Tahun). Di dalam Pelita III dan Pelita IV, rumusan pembangunan sarana pendidikan Sekolah Dasar diletakkan pada perluasan pendidikan dasar dalam rangka mewujudkan pelaksanaan wajib belajar yang dan baru kemudian diikuti pada peningkatan mutu dan perluasan pendidikan dasar dalam rangka mewujudkan dan menetapkan pelaksanaan wajib belajar, serta meningkatkan perluasan kesempatan belajar pada tingkat pendidikan menengah.










DAFTAR PUSTAKA
Halim Soebahar, Abd.,Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonasi Guru Sampai UU SISDIKNAS, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013

Hasbullah, M., Kebijakan Pendidikan dalam Perspektif Teori, Aplikasi dan Kondisi Objektif Pendidikan di Indonesia, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2015

Rahman Assegaf, Abd.,Politik Pendidikan Nasional, Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005

Rifa’i,Muhammad,Sejarah Pendidikan Nasional dari Masa Klasik hingga Modern, Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011

Rukiati, Enung K., dkk. Sejarah Pendidikan Di Indonesia, Bandung: Pustaka Setia

Rusdiana, A., Kebijakan Pendidikandari Filosofi ke Implementasi, Bandung: Pustaka Setia, 2015

UU RI No: 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Kloang Klede Jaya, Jakarta, t.th



[1]Enung K Rukiati, dkk. Sejarah Pendidikan Di Indonesia,(Bandung:Pustaka Setia),hlm. 65.
[2]Abd. Rahman Assegaf, Politik Pendidikan Nasional, (Yogyakarta: Kurnia Kalam, 2005), hlm. 6.
[3]) UURI No: 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, (Kloang Klede Jaya, Jakarta, t.th), hlm. 20.
[4])Ibid., hlm. 7.
[5]Abd. Rahman Assegaf, Politik Pendidikan Nasional, ....., hlm. 186.
[6]Abd. Halim Soebahar, Kebijakan Pendidikan Islam dari Ordonasi Guru Sampai UU SISDIKNAS, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), hlm. 134 dan 135
[7]Ibid, hlm. 120.
[8]Abd. Rahman Assegaf, Politik Pendidikan Nasional, ...., hlm. 163-165.
[9]Abd. Rahman Assegaf, Politik Pendidikan Nasional, ...., hlm. 1-2.
[10] H. A. Rusdiana, Kebijakan Pendidikan dari Filosofi ke Implementasi, (Bandung: Pustaka Setia, 2015), hlm. 153.
[11]Ibid, hlm. 160.
[12] Muhammad Rifa’i, Sejarah Pendidikan Nasional dari Masa Klasik hingga Modern, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), hlm. 235.

Komentar

Postingan Populer